Jumat, 11 November 2016

TIGA MENTALITAS DIPERLUKAN UNTUK PEMBANGUNAN



TIGA MENTALITAS DIPERLUKAN UNTUK PEMBANGUNAN

Koentjaraningrat di dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan di Indonesia mengambil kesimpulan bahwa pada berbagai suku bangsa Indonesia masih terdapat mentalitas yang belum sejalan dengan kebutuhan pembangunan bangsa. Menurut beliau mentalitas tersebut dapat dikembangkan melalui proses pendidikan nasional. Adapun ketiga mentalitas yang diperlukan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Kesadaran berkarya lebih baik. 2) Kebutuhan untuk menabung. 3) Disiplin tanpa dimandori. Ketiga sifat mental yang harus dikembangkan melalui proses pendidikan tersebut sangat diperlu-kan di dalam pembangunan bangsa. Yang pertama mengenai keasadaran berkarya sangat diperlukan bagi bangsa yang sedang membangun. Bangsa yang berkarya artinya bangsa yang tidak puas dengan apa yang telah dicapainya hari ini tetapi yang terus-menerus ingin menciptakan sesuatu yang baru, yang lebih baik. Sikap mental tersebut perlu digalakkan karena lingkungan alam yang kaya yang cenderung membuat orang malas untuk berkarya lebih baik. Dalam hal ini diperlukan kemampuan kreativitas dari manusia Indonesia untuk memanfaatkan dan mengamankan kekayaan alamnya yang berlimpah dan kekayaan budaya Nusantara yang beragam. Kesadaran berkarya yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan memang telah diabaikan pada masa kolonial. Proses pendidikan pada masa kolonial adalah mendidik putera-puteri Indonesia untuk menjadi pegawai negeri dan bukan menjadi manusia yang berkarya, manusia entrepreneur. Proses belajar hanya diarahkan kepada mendapatkan ijazah atau lulus dalam Ujian Nasional dan bukan melahirkan manusia-manusia Indonesia untuk membangun. Akibatnya ialah banyak kekayaan alam dan budaya Indonesia yang belum tereksploatir bahkan banyak yang dilarikan oleh orang asing. Tinggallah manusia Indonesia yang merana dan miskin di tengah kekayaan alam dan keragaman budayanya. 
Tujuan pendidikan yang demikian, yang masih mendominasi pendidikan nasional dewasa ini bukannya melahirkan manusia-manusia yang kritis dan kreatif tetapi melahirkan manusia-manusia yang bermental pegawai. Akibatnya ialah suatu masyarakat yang statis dan miskin. Kemiskinan bukan hanya disebabkan karena ketiadaan modal tetapi juga karena kemiskinan tekad untuk meningkatkan taraf hidupnya. Banyak bangsa miskin sumber daya alamnya namun menjadi lebih makmur karena mempunyai tekad yang membaja untuk meningkatkan kemampuan dalam mengurangi kemiskinan. Korea Selatan dibandingkan dengan Korea Utara, tidak mempunyai kekayaan alam namun mempunyai kemauan yang besar untuk meningkatkan taraf hidupnya. 
 Kurangnya sikap menabung dalam masyarakat Indonesia antara lain disebabkan karena begitu baiknya alam terhadap kehidupan masyarakat Indonesia sehingga kesadaran untuk menabung dalam rangka peningkatan taraf kehidupannya di masa depan belum merupakan suatu kebutuhan. Padahal kehidupan masa depan yang lebih menantang dibandingkan dengan masa kini mengharuskan suatu masyarakat untuk mempunyai sikap suka menabung. Apalagi dalam era globalisasi dewasa ini orang cenderung digoda oleh sikap konsumerisme dan hedonisme yang bisa mematikan kesadaran untuk membangun masa depan dengan cara membudayakan sikap suka menabung. Sikap negatif ini tentunya berbahaya bagi kehidupan masyarakat di masa depan untuk hidup di dalam dunia yang berubah serba cepat sehingga meminta kesadaran pada setiap anggotanya untuk berjaga-jaga menghadapi berbagai masalah dan memanfaatkan peluang-peluang yang terbuka. 
 Mengenai sikap untuk bekerja dengan disiplin tanpa dimandori, sikap tersebut telah lahir sejak masa kolonial ketika bangsa Indonesia adalah semata-mata sebagai buruh rendahan dalam struktur kehidupan kolonial. Pada masa itu orang bekerja karena dipaksa bukan karena tuntutan kehidupan. Bekerja karena paksaan menuntut pekerjaan seorang mandor. Para mandor (man at the door) bertugas untuk menjaga, mecambuki atau menghukum para pekerja yang malas. Bekerja bukan merupakan ibadah tetapi merupakan suatu paksaan. Pembangunan masyarakat Indonesia memerlukan manusia-manusia  pekerja bukan sebagai buruh paksaan tetapi suatu ibadah untuk membangun bangsa. Perjuangan kemerdekaan Indonesia bertujuan untuk membuat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang cerdas. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang cerdas di dalam kehidupan akalnya, kehidupan ekonominya dan kehidupan sosialnya. 
 Apakah sikap mental dan usul Prof. Koentjaraningrat telah mulai dilaksanakan di dalam sistem pendidikan nasional? Sesudah 68 tahun merdeka tampaknya apa yang diharapkan oleh Koentjaraningrat masih jauh panggang dari api. Pendidikan nasional kita kehilangan arah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar