Jumat, 11 November 2016

ALTERNATIF FILSAFAT BARAT DAN FILSAFAT TIMUR DALAM PROSES BELAJAR



ALTERNATIF FILSAFAT BARAT DAN FILSAFAT TIMUR DALAM PROSES BELAJAR

Dalam dunia yang semakin terbuka abad ke-21 membedakan kehidupan Barat dan Timur secara fisik maupun secara virtual menjadi tidak mungkin meskipun keberadaan manusia di dunia ini ikut ditentukan oleh lokalitas keberadaannya di bumi ini. Percam-puran antara Timur dan Barat telah merupakan suatu yang niscaya, namun tetap manusia tidak kehilangan identitasnya di dalam kaitannya dengan budaya lokal yang membesarkannya. Tonggak-tonggak budaya lokal termasuk filsafat Timur merupakan unsur-unsur yang membentuk kesadaran bahkan ketidaksa-daran kolektif yang membentuk watak suatu kelompok masyarakat atau bangsa. Sebagai contoh misalnya seorang filsuf Barat Martin Heidegger di dalam bukunya yang terkenal Sein und Zeit (Being and Time) yang diterbit-kan tahun 1927 mengemukakan mengenai keberadaan manusia (being) sebagai terlempar di dunia ini (being here, being there). Artinya keberadaan manusia (das sein) menolak perbedaan antara obyek dan subyek. Das sein bukan hanya dekat kepada kita, keberadaan yang terlempar di dunia ini. Dalam bahasa Jerman keberadaan itu adalah kesatuan antara obyek dan subyek atau kesatuan antara manusia dengan dunia yang disebutnya umwelt atau dunia sekitar kita. Dunia sekitar kita bukan saja ada sekitar kita tetapi juga ada untuk kita (present at hand and ready to hand).
Dengan melihat dunia sekitar sebagai ada maka kita berpikir dalam rangka untuk menelitinya, menganalisanya dan seterusnya. Dengan singkat das sein tidak terlepas dari umwelt atau manusia bukanlah suatu obyek dari dunia sekitarnya ia adalah bagian dari dunia sekitarnya. Konsep Heidegger mengenai umwelt tersebut kira-kira sejajar dengan pandangan dunia Timur yang dapat dipresentasikan dengan konsep Yin and Yang. Prinsip Yin and Yang yang berasal dari falsafah Taoisme merupakan filsafat dialektik antara manusia dengan dunia –yang satu tidak dapat dipisahkan dengan yang lain. Seperti yang digambarkan di dalam simbol Yin and Yang, universe merupakan suatu dinamika perubahan. Universe digambarkan sebagai dua ekor ikan yang satu putih yang satu hitam yang menunjukkan kedudukan yang bersamaan dan bertentangan. Bangsa-bangsa Asia telah menunjukkan di dalam kehidupannya selama beradab-abad berdasarkan simbol Yin and Yang yang menempatkan diri di dalam makanan, musik, tari-tarian, olah raga, pengobatan. Simbol ini pula menunjukkan bagaimana orang Asia lebih bersifat toleransi terhadap perubahan, menghadai berbagai jenis kontradiksi serta interkoneksi di dalam kehidupan bersama. Itu sebabnya juga mengapa dalam kebudayaan Asia dikenal bukan hanya bahasa yang tampak tetapi juga bahasa yang tidak tampak. Kelemahan-nya ialah di belakang kata “setuju” sebenarnya terletak ketidaksetujuan. 
Demikianlah beberapa cuplikan mengenai bagaimana filsafat Barat dan filsafat Timur melihat mengenai proses belajar serta unsur-unsur yang positif maupun negatif yang terdapat pada masing-masing falsafah tersebut. Mengulangi pendapat Anthony Giddens apakah antara kiri dan kanan, falsafah Barat dan Falsafah Timur, ditujukan kepada satu pertanyaan ialah apakah pandangan masing-masing tersebut bermanfaat bagi kemanusiaan? Demikian pula pokok diskusi kita apakah filsafat Timur atau filsafat Barat yang akan dijadikan sebagai titiktolak untuk meningkatan martabat manusia. Pandangan-pandangan yang tampaknya saling bertentangan tersebut tentunya masing-masing mempunyai nilai positif dan negatif dan oleh sebab itu sudah sewajar-nyalah apabila kita mencari jalan ketiga atau alternatif dari pandangan filsafat Timur dan filsafat Barat dalam memberikan jawaban terhadap tiga pertanyaan Koentjaraningrat. menurut pendapat penulis baik filsafat Barat maupun filsafat Timur tidak dapat sepenuhnya memberikan jawaban yang memuaskan bagi ketiga pertanyaan itu. Penulis mencoba pada bagian terakhir dari tulisan ini menyuguhkan jalan ketiga di dalam pembentukan karakter bangsa dalam rangka memberikan jawaban kepada tiga mentalitas yang dikemukakan oleh Prof. Koentjaraningrat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar