PARADOK
MATEMATIKA
Matematikawan
adalah mahluk yang cerdik dan tidak bersedia menerima jika (re)konstruksinya
gagal. Memilih menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi tersebut dengan sebuah
penghalusan atau eufemisne, bahwa yang terjadi bukanlah kontradiksi tetapi
paradok, merupakan pilihan cerdas yang dapat dilakukan. Semacam anomali. Dengan
kecerdikan yang demikian matematika tetap berjaya, terbebas dari segala
kesalahan dan tentunya terbebas dari kontradiksi.
Paradok
antara lain muncul dari dialog Socrates dengan Plato berikut ini (Sembiring,
2010). Socrates: ”Apa yang berikut ini akan dikatakan oleh Plato adalah salah.”
Plato mengatakan: ”Yang barusan dikatakan Socrates benar.” Contoh yang cukup
populer adalah paradok Zeno (±
450
SM) yang menemukan adanya kesulitan mengenai ide kuantitas kecil tak berhingga
sebagai penyusun besaran kontinu.
Zeno
mencoba membuktikan bahwa pergerakan ke arah kecil tak berhingga adalah
khayalan. Paradok Zeno mengenai ’Achiles si Gesit’ begitu terkenal dan memukau
ke arah penelusuran konsep ketakberhinggan. Kata Zeno, yang lebih lambat tidak
dapat disalip oleh yang lebih cepat, sehingga Achiles si Gesit tidak akan mampu
menyalip atau mendahului kuya.
Paradok ini tidaklah menyatakan bahwa
dalam praktek lomba lari yang sebenarnya Achiles tidak dapat menyalip
kura-kura, tetapi memberi gambaran bagaimana terbatasnya pemikiran dalam logika
formal matematika.
Upaya menyelesaikan berbagai paradok
menyebabkan terpecahnya matematikawan ke dalam beberapa arus pikiran atau
filsafat. Lahirlah faksi-faksi dan aliran-aliran dalam filsafat matematika,
yang saling berbeda dan saling tidak mau menerima satu sama lain.
Menyembunyikan
kontradiksi dalam paradok tidak selalu membuat pekerja matematika dapat tidur
dengan nyenyak. Matematikawan juga adalah mahluk yang tidak dapat menipu
dirinya sendiri. Kontradiksi tetaplah kontradiksi, bersifat mengurangi nilai
keindahan matematika, meskipun diperhalus terusmenerus. Secara eksternal
matematikawan menyatakan matematika bebas dari kontradiksi, tetapi diam-diam
mereka melanjutkan pekerjaan menyelesaikan berbagai kontradiksi tersebut, dan
memastikan bahwa penyelesaian yang dilakukannya tidak akan menimbulkan
kontradiksi baru, sehingga konsistensi matematika tetap tegak berdiri, bendera
matematika berkibar di tiang tertinggi dengan lantang dan gagah berani menatap
langit biru, tidak akan pernah berkibar setengah tiang dan malu-malu.
Para
matematikawan mencoba menyelesaikan masalah-masalah tersebut, membuang
kontradiksi dan mengembangkan sistem matematika baru yang kebal salah. Mereka
membuat rekonstruksi baru atas struktur logika matematika, dan mulai
meninggalkan kepercayaan pada disain alam semesta yang matematis. Meskipun
merupakan suatu kebenaran bahwa matematika telah tersedia di alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar