Jumat, 11 November 2016

PENIDIDIKAN KARAKTER MENUJU MASYARAKAT SEJAHTERA



PENDIDIKAN KARAKTER MENUJU MASYARAKAT SEJAHTERA


Persoalan karakter merupakan persoalan bangsa karena ia ada dalam kehidupan masyarakat dan tumbuh dalam berbagai ragam khasanah identitas. Suyanto (2006:138) mengemukakan bahwa terdapat banyak aliran filsafat yang dapat dijadikan acuan bagi upaya menegakkan moralitas melalui pendidikan. Tilaar (2002:8083) menyampaikan beberapa butir perubahan sosial menuju masyarakat Indonesia baru sebagai berikut.

1.  Lahirnya masyarakat terbuka, proses demokratisasi mendorong lahirnya masyarakat terbuka.

2. Manusia dan masyarakat Indonesia yang cerdas, membangun masyarakat terbuka dan demokratis memerlukan manusia yang cerdas.

3. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam semua aspek kehidupan, rakyat memunyai akses dan tanggung jawab langsung dalam membangun dan mengembangkan lembaga sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.

4. Revitalisasi budaya lokal dalam rangka pengembangan kapital sosial.

5. Proses demokrasi dan globalisasi serta di topang oleh teknologi informsi untuk melahirkan nasionalisme asli sebagai identitas nasional.
6. Pengembangan ekonomi berdasarkan sumber daya alam yang ada di daerah-daerah.  
7. Pemerintah pusat dan daerah mengembangkan IPTEK secara berkesinambungan.
8. Pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam daerah untuk kesejahteraan masyarakat lokal dan nasional.
9. Memacu tersedianya kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia yang dapat bersaing  dan bekerjasama dalam lingkungan global.
Ragam persoalan yang ada di Indonesia senyatanya berada pada tataran permukaan dan mendalam. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian persoalan yang ada merupakan suatu ketidaksengajaan atau belum dewasanya cara berpikir dan sudut pandang masyarakat terhadap persoalan yang ada. Mereka menyikapi permasalahan hanya pada tataran permukaan serta tidak menyentuh akar permasalahan. Pada tataran mendalam, ternyata beberapa persoalan didekati dengan cara yang tidak tepat sehingga justru memunculkan persoalan baru sebagai akibat cara berpikir yang keliru.
Sesuatu hal yang dihadapi manusia yang berupa problem itu belum jelas duduk persoalannya, sehingga dibutuhkan jawaban yang dapat menjelaskannya. Jawaban atas masalah ini dapat diperoleh dengan akivitas akal yang disebut berpikir atau istilah teknisnya disebut berefleksi. Pendidikan berpikir secara filsafat bertujuan tidak sekedar untuk memperoleh kebenaran akan tetapi berefleksi yang dilandasi nilai-nilai moral. Dalam hal pendidikan karakter dinyatakan: ”lebih pedulilah dengan karaktermu daripada reputasimu karena reputasi adalah apa yang orang mungkin berpikir tentangmu, sedangkan karakter adalah siapa kamu sebenarnya” (Doty, 2006: 6-7).
Berfilsafat adalah berpikir, namun tidak dapat dibalik bahwa bepikir adalah berfilsafat. Kalau dikatakan berilsafat adalah berpikir, hal ini dimaksudkan bahwa berfilsafat termasuk kegiatan berpikir. Kata “adalah” dalam “berfilsafat adalah berpikir” mengandung pengertian bahwa berfilsafat itu tidak identik dengan berpikir melainkan berfilsafat termasuk dalam berpikir. Berpikir lebih luas daripada berfilsafat. Dengan demikian, tidak semua orang yang berpikir itu mesti berfilsafat. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa orang yang berfilsafat itu pasti berpikir. Hanya saja yang dimaksud berfilsafat itu adalah berpikir dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya, seorang mahasiswa berpikir bagaimana agar memperoleh Indek Prestasi (IP) yang tinggi pada semester sekarang, atau seorang pegawai negeri memikirkan berapa jumlah gaji yang akan diterima untuk bulan yang akan datang, atau seorang pedagang berpikir tentang laba yang akan diperoleh dalam bulan ini. Semua contoh yang dikemukakan itu bukanlah berpikir secara kefilsafatan melainkan berpikir biasa atau berpikir sehari-hari yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam. 
Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan yang berbeda dengan berpikir secara ilmiah.
Pertama, berfilsafat adalah berpikir secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani radix yang berarti “akar”. Berpikir radikal adalah berpikir yang sedalam-dalamnya, sampai ke akar-akarnya. Berpikir sampai ke hakikat, esensi atau substansi yang dipikirkan. Berfilsafat adalah berpikir sampai pada keapaan (whatness) dari sesuatu hal. Pada awal munculnya filsafat, manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera karena pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak tetap atau selalu berubah. Manusia yang berfilsafat dengan menggunakan akalnya berusaha untuk memperoleh pengetahuan hakikat, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi. Menurut Aristoteles, filsafat adalah pengetahuan yang sejati. Adapun pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan yang mesti (necessity), tetap dan kekal di belakang apa yang tidak mesti, tidak tetap dan tidak kekal yaitu yang hanya kebetulan, senantiasa bergerak dan berubah. Di belakang kejadian-kejadian itu ada sesuatu yang tidak kebetulan, tidak bergerak, tidak berubah dan inilah yang disebut hakikat.
Kedua, berfilsafat adalah berpikir secara universal. Yang dimaksud berpikir secara universal adalah berpikir tentang hal-hal dan proses-proses yang bersifat umum. Berfilsafat adalah berpikir secara konseptual. Yang dimaksud konsep di sini adalah hasil dari generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berfilsafat tidak berpikir  tentang “manusia tertentu” atau “manusia khusus” melainkan berpikir tentang “manusia secara umum” atau “kemanusiaan”. Berpikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan dengan pemikiran atas perbuatan-perbuatan bebas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, orangorang khusus sebagai mana dipelajari oleh ilmu psikologi, melainkan bersangkutan dengan pemikiran umum, misalnya apakah kemanusiaan itu; apakah kebenaran itu; atau apakah kebaikan itu. Ciri berpikir konsepual ini menjadikan berpikir secara kefilsafatan melampai batas pengalaman hidup sehari-hari.
Ketiga, berfilsafat adalah berpikir secara koheren. Yang dimaksud koheren adalah berhubungan dengan sesuatu pengertian umum, bertalian dengan suatu prinsip, atau sesuai dengan kaidah-kaidah atau hukum-hukum logika. Misalnya, dalam bentuk penalaran: A=B; B=C; jadi A=C. Suatu pernyataan dikatakan benar (runtut) kalau putusan itu selaras (coherent) dengan putusan sebelumnya yang dikatakan benar.
Keempat, berfilsafat adalah berpikir secara konsisten. Yang dimaksud konsisten adalah sebuah konsep atau bentuk uraian yang di dalamya tidak mengandung kontradiksi. Kontradiksi adalah pertentangan yang saling menyisihkan. Contoh pernyataan yang tidak konsisten: “lingkaran yang berbentuk segitiga”, “bujangan yang sudah nikah”, “orang Negro yang  berkulit pu-
tih.”
Kelima, berfilsafat adalah berpikir secara sistematik. Istilah sistematik berasal dari kata dasar “sistem”. Yang dimaksud sistem adalah kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai suatu maksud atau menunaikan suatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, para filsuf atau ahli filsafat menggunakan pernyataan-pernyataan sebagai wujud dari proses berpikir secara kefilsafatan. Pernyataan-pernyataan yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud  atau tujuan  megapa uraian itu dibuat.
Keenam, erfilsafat adalah berpikir secara komprehensif. Yang dimaksud komprehensif adalah berpikir yang mencakup secara keseluruhan. Filsafat berusaha untuk menjelaskan alam semesta beserta bagian-bagiannya secara menyeluruh. Kalau satu sistem filsafat bersifat komprehensif berarti sistem ini mencakup secara keseluruhan dalam arti tidak ada sesuatu pun yang berada di luarnya.
Ketujuh, berfilsafat adalah berpikir secara bebas. Sampai batas-batas yang luas maka setiap filsafat dapat dikatakan merupakan hasil dari pemikiran secara bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, dan religius. Sikap bebas ini banyak ditunjukkan oleh para filsuf di segala zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berpikir, Spinoza menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat di Unversitas Heidelberg. Kebebasan berpikir itu adalah kebebasan yang  berdisiplin. Berpikir dan menyelidiki secara bebas itu tidaklah berarti sembarangan, sesuka hati, anarkhi, malahan sebaliknya berpikir dan menyelidiki yang sangat terikat. Akan tetapi, ikatan itu berasal dari dalam, dari hukum dari disiplin pikiran itu sendiri. Di sinilah berpikir dan menyelidiki dengan bebas itu berarti berpikir dan menyelidiki menggunakan disiplin yang seketat-ketatnya. 
Sejalan dengan berbagai pengertian di atas, Zuchdi, (2011:77) mengemukakan dua faktor penting yang dapat berkontribusi bagi keberhasilan pembentukan karakter individu, yaitu keluarga dan media massa. Media massa memang memunculkan fenomena baru dalam kehidupan berbangsa karena tiadanya filter yang baik untuk informasi yang beredar sehingga menjadi konsumsi seluruh masyarakat. Contoh di atas mengisyaratkan bahwa dengan berfikir filsafat maka kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berlangsung dengan baik dan sejahtera. 
Proses pendidikan yang berlangsung dalam konteks formal, nonformal, dan informal mengedepankan adanya keterkaitan yang nyata untuk mewujudkan kehidupan yang beradab. Ketika pemikiran secara filsafat hadir dan dipelajari sejak anak-anak niscaya kesadaran untuk menghargai dan menyayangi sesame bukan merupakan suatu masalah besar. Berfilsafat adalah berpikir yang bertanggung jawab. Orang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sambil bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya (conscience) sendiri. Di sini nampak ada hubungan antara kebebasan berpikir dalam filsafat dengan etika yang mendasarinya.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar