PENDIDIKAN KARAKTER MENUJU MASYARAKAT SEJAHTERA
Persoalan karakter merupakan persoalan bangsa karena ia ada
dalam kehidupan masyarakat dan tumbuh dalam berbagai ragam khasanah identitas.
Suyanto (2006:138) mengemukakan bahwa terdapat banyak aliran filsafat yang
dapat dijadikan acuan bagi upaya menegakkan moralitas melalui pendidikan.
Tilaar (2002:8083) menyampaikan beberapa butir perubahan sosial menuju
masyarakat Indonesia baru sebagai berikut.
1. Lahirnya masyarakat terbuka, proses demokratisasi mendorong lahirnya masyarakat terbuka.
2. Manusia dan masyarakat Indonesia yang cerdas, membangun masyarakat terbuka dan demokratis memerlukan manusia yang cerdas.
3. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam semua aspek kehidupan, rakyat memunyai akses dan tanggung jawab langsung dalam membangun dan mengembangkan lembaga sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
4. Revitalisasi budaya lokal dalam rangka pengembangan kapital sosial.
5. Proses demokrasi dan globalisasi serta di topang oleh teknologi informsi untuk melahirkan nasionalisme asli sebagai identitas nasional.
6. Pengembangan ekonomi berdasarkan sumber daya alam yang ada di daerah-daerah.
7. Pemerintah pusat dan daerah mengembangkan IPTEK secara berkesinambungan.
8. Pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam daerah untuk kesejahteraan masyarakat lokal dan nasional.
9. Memacu tersedianya kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia yang dapat bersaing dan bekerjasama dalam lingkungan global.
Ragam persoalan yang ada di Indonesia senyatanya berada pada
tataran permukaan dan mendalam. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian
persoalan yang ada merupakan suatu ketidaksengajaan atau belum dewasanya cara
berpikir dan sudut pandang masyarakat terhadap persoalan yang ada. Mereka
menyikapi permasalahan hanya pada tataran permukaan serta tidak menyentuh akar
permasalahan. Pada tataran mendalam, ternyata beberapa persoalan didekati
dengan cara yang tidak tepat sehingga justru memunculkan persoalan baru sebagai
akibat cara berpikir yang keliru.
Sesuatu hal yang dihadapi manusia yang berupa problem itu
belum jelas duduk persoalannya, sehingga dibutuhkan jawaban yang dapat
menjelaskannya. Jawaban atas masalah ini dapat diperoleh dengan akivitas akal
yang disebut berpikir atau istilah teknisnya disebut berefleksi. Pendidikan berpikir
secara filsafat bertujuan tidak sekedar untuk memperoleh kebenaran akan tetapi
berefleksi yang dilandasi nilai-nilai moral. Dalam hal pendidikan karakter
dinyatakan: ”lebih pedulilah dengan karaktermu daripada reputasimu karena
reputasi adalah apa yang orang mungkin berpikir tentangmu, sedangkan karakter
adalah siapa kamu sebenarnya” (Doty, 2006: 6-7).
Berfilsafat adalah berpikir, namun tidak dapat dibalik bahwa
bepikir adalah berfilsafat. Kalau dikatakan berilsafat adalah berpikir, hal ini
dimaksudkan bahwa berfilsafat termasuk kegiatan berpikir. Kata “adalah” dalam
“berfilsafat adalah berpikir” mengandung pengertian bahwa berfilsafat itu tidak
identik dengan berpikir melainkan berfilsafat termasuk dalam berpikir. Berpikir
lebih luas daripada berfilsafat. Dengan demikian, tidak semua orang yang
berpikir itu mesti berfilsafat. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa orang yang
berfilsafat itu pasti berpikir. Hanya saja yang dimaksud berfilsafat itu adalah
berpikir dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya, seorang mahasiswa berpikir
bagaimana agar memperoleh Indek Prestasi (IP) yang tinggi pada semester
sekarang, atau seorang pegawai negeri memikirkan berapa jumlah gaji yang akan
diterima untuk bulan yang akan datang, atau seorang pedagang berpikir tentang
laba yang akan diperoleh dalam bulan ini. Semua contoh yang dikemukakan itu
bukanlah berpikir secara kefilsafatan melainkan berpikir biasa atau berpikir
sehari-hari yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.
Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan yang berbeda
dengan berpikir secara ilmiah.
Pertama, berfilsafat adalah berpikir secara radikal. Radikal
berasal dari kata Yunani radix yang
berarti “akar”. Berpikir radikal adalah berpikir yang sedalam-dalamnya, sampai
ke akar-akarnya. Berpikir sampai ke hakikat, esensi atau substansi yang
dipikirkan. Berfilsafat adalah berpikir sampai pada keapaan (whatness) dari sesuatu hal. Pada awal
munculnya filsafat, manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh
pengetahuan lewat indera karena pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak tetap
atau selalu berubah. Manusia yang berfilsafat dengan menggunakan akalnya
berusaha untuk memperoleh pengetahuan hakikat, yaitu pengetahuan yang mendasari
segala pengetahuan inderawi. Menurut Aristoteles, filsafat adalah pengetahuan
yang sejati. Adapun pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan yang mesti (necessity), tetap dan kekal di belakang
apa yang tidak mesti, tidak tetap dan tidak kekal yaitu yang hanya kebetulan,
senantiasa bergerak dan berubah. Di belakang kejadian-kejadian itu ada sesuatu
yang tidak kebetulan, tidak bergerak, tidak berubah dan inilah yang disebut
hakikat.
Kedua, berfilsafat adalah berpikir secara universal. Yang
dimaksud berpikir secara universal adalah berpikir tentang hal-hal dan proses-proses
yang bersifat umum. Berfilsafat adalah berpikir secara konseptual. Yang
dimaksud konsep di sini adalah hasil
dari generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta
proses-proses individual. Berfilsafat tidak berpikir tentang “manusia tertentu” atau “manusia
khusus” melainkan berpikir tentang “manusia secara umum” atau “kemanusiaan”.
Berpikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan dengan pemikiran atas
perbuatan-perbuatan bebas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, orangorang
khusus sebagai mana dipelajari oleh ilmu psikologi, melainkan bersangkutan
dengan pemikiran umum, misalnya apakah kemanusiaan itu; apakah kebenaran itu;
atau apakah kebaikan itu. Ciri berpikir konsepual ini menjadikan berpikir
secara kefilsafatan melampai batas pengalaman hidup sehari-hari.
Ketiga, berfilsafat adalah berpikir secara koheren. Yang
dimaksud koheren adalah berhubungan dengan sesuatu pengertian umum, bertalian
dengan suatu prinsip, atau sesuai dengan kaidah-kaidah atau hukum-hukum logika.
Misalnya, dalam bentuk penalaran: A=B; B=C; jadi A=C. Suatu pernyataan
dikatakan benar (runtut) kalau putusan itu selaras (coherent) dengan putusan sebelumnya yang dikatakan benar.
Keempat, berfilsafat adalah berpikir secara konsisten. Yang
dimaksud konsisten adalah sebuah konsep atau bentuk uraian yang di dalamya
tidak mengandung kontradiksi. Kontradiksi adalah pertentangan yang saling
menyisihkan. Contoh pernyataan yang tidak konsisten: “lingkaran yang berbentuk
segitiga”, “bujangan yang sudah nikah”, “orang Negro yang berkulit pu-
tih.”
Kelima, berfilsafat adalah berpikir secara sistematik.
Istilah sistematik berasal dari kata dasar “sistem”. Yang dimaksud sistem
adalah kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata
pengaturan untuk mencapai suatu maksud atau menunaikan suatu peranan tertentu.
Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, para filsuf atau ahli
filsafat menggunakan pernyataan-pernyataan sebagai wujud dari proses berpikir
secara kefilsafatan. Pernyataan-pernyataan yang merupakan uraian kefilsafatan
itu harus berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan
megapa uraian itu dibuat.
Keenam, erfilsafat adalah berpikir secara komprehensif. Yang
dimaksud komprehensif adalah berpikir yang mencakup secara keseluruhan.
Filsafat berusaha untuk menjelaskan alam semesta beserta bagian-bagiannya
secara menyeluruh. Kalau satu sistem filsafat bersifat komprehensif berarti
sistem ini mencakup secara keseluruhan dalam arti tidak ada sesuatu pun yang
berada di luarnya.
Ketujuh, berfilsafat
adalah berpikir secara bebas. Sampai batas-batas yang luas maka setiap filsafat
dapat dikatakan merupakan hasil dari pemikiran secara bebas. Bebas dari
prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, dan religius. Sikap bebas ini
banyak ditunjukkan oleh para filsuf di segala zaman. Socrates memilih minum
racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir
menurut keyakinannya. Karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berpikir,
Spinoza menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat di Unversitas
Heidelberg. Kebebasan berpikir itu adalah kebebasan yang berdisiplin. Berpikir dan menyelidiki secara
bebas itu tidaklah berarti sembarangan, sesuka hati, anarkhi, malahan
sebaliknya berpikir dan menyelidiki yang sangat terikat. Akan tetapi, ikatan
itu berasal dari dalam, dari hukum dari disiplin pikiran itu sendiri. Di
sinilah berpikir dan menyelidiki dengan bebas itu berarti berpikir dan
menyelidiki menggunakan disiplin yang seketat-ketatnya.
Sejalan dengan berbagai pengertian di atas, Zuchdi, (2011:77)
mengemukakan dua faktor penting yang dapat berkontribusi bagi keberhasilan
pembentukan karakter individu, yaitu keluarga dan media massa. Media massa
memang memunculkan fenomena baru dalam kehidupan berbangsa karena tiadanya
filter yang baik untuk informasi yang beredar sehingga menjadi konsumsi seluruh
masyarakat. Contoh di atas mengisyaratkan bahwa dengan berfikir filsafat maka
kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berlangsung dengan baik dan sejahtera.
Proses pendidikan yang berlangsung dalam konteks formal,
nonformal, dan informal mengedepankan adanya keterkaitan yang nyata untuk
mewujudkan kehidupan yang beradab. Ketika pemikiran secara filsafat hadir dan
dipelajari sejak anak-anak niscaya kesadaran untuk menghargai dan menyayangi
sesame bukan merupakan suatu masalah besar. Berfilsafat adalah berpikir yang
bertanggung jawab. Orang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sambil
bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya
(conscience) sendiri. Di sini nampak
ada hubungan antara kebebasan berpikir dalam filsafat dengan etika yang
mendasarinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar