Minggu, 27 November 2016

KESALAHAN-KESALAHAN BERPIKIR

KESALAHAN-KESALAHAN BERPIKIR

Fallacy of Dramatic Instance berawal dari kecenderungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisatuon. Yaitu, penggunaan satu-dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Seringkali kesimpulan itu merujuk pada pengalaman pribadi seseorang.  
Fallacy of Retrospective Determinism atau dapat dijelaskan sebagai kebiasaan masyarakat yang menganggap masalah sosial yang sekarang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Cara berpikir nin selalu mengacu pada “kembali ke belakang” atau “historis”. Atau secara jelasnya disebutkan sebagai upaya kembali pada sesuatu yang seakan-akan sudah ditentukan dalam sejarah masa lalu. 
Post Hoc Ergo Propter Hoc atau sesudah itu- karena itu- oleh sebab itu. Bila ada peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka dapat dinyatakan bahwa yang pertama adalah sebab dari yang kedua. Inti dari kesalahan berpikir ini ketika seseorang berargumentasi dengan menghubungkan sesuatu yang tidak berhubungan. 
Fallacy of Misplaced Concretness adalah kesalahan berpikir yang muncul karena kita mengkonkretkan sesuatu yang sebenarnya adalah abstrak. Atau dapat dikatakan sebagai menganggap real seuatu yang sebetulnya hanya ada dalam pikiran kita. 
Argumentum ad Verecundiam ialah berargumen dengan menggunakan otoritas,  walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu. Berargumentasi dengan menggunakan otoritas seseorang yang belum tentu benar atau berhubungan demi membela kepentingannya dalam hal ini kebenaran argumentasinya. 
Fallacy of Composition adalah dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti juga berhasil untuk semua orang.  
Circular Reasoning artinya pemikiran yang berputar-putar, menggunakan kesimpulan untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk mendukung kesimpulan semula. 
Black and White Fallacy: Inti dari kesalahan berfikir ini ketika seseorang melakukan penilaian atau berargumentasi berdasarkan dua alternative saja dan menafikan alternative lain. 
Argumentum Ad Miseria: Kesalahan berfikir karena menarik kesimpulan dengan berdasarkan rasa kasihan tanpa berdasarkan bukti. Misalnya, “memang benar Soeharto itu korupsi, tetapi dia kan juga mantan Presiden kita. Olehnya itu kita ampuni saja.” Atau “memang benar Hafsah dan Aisya bantu membantu menyusahkan Nabi sebagaimana mereka ditegur dalam Surah At-Tahrim ayat 4, tetapi bagaimanapun juga mereka itu adalah istri Nabi yang harus kita hormati.” 
The Fallacy Of The Undistrubed Midle Term: Kesalahan berfikir karena orang yang mengambil kesimpulan tidak melakukan sesuatu apapun selain menghubungkan dua ide dengan ide ketiga, dan dalam kesimpulannya orang yang mengambil ide mengklaim bahwa telah menghubungkan satu sama lain.  
Fallacy Determinisme Paranoid: Pada umumnya istilah paranoid kita kenal dalam disiplin ilmu psikologi. Yaitu suatu kondisi kejiwaan seseorang yang merasakan rasa takut yang berlebihan tanpa alasan yang patut dibenarkan. Biasanya kasus ini kita temukan pada orang yang trauma atau memakai sabu-sabu (salah satu jenis narkoba). Tetapi dalam kesempatan ini kita membahas paranoid yang timbul karena kesalahan berfikir, yakni adanya rasa takut yang berlebihan karena tekanan kebodohannya. 


FILSAFAT DEWASA INI

FILSAFAT DEWASA INI

Filsafat Dewasa Ini atau Filsafat Abad Ke-20 juga disebut Filsafat Kontemporer. Ciri khas pemikiran filsafat ini adalah desentralisasi manusia. Dalam bidang bahasa terdapat pokok-pokok masalah, yaitu arti kata-kata dan arti pernyataan- pernyataan. Maka, timbullah filsafat analitika, yang di dalamnya membahas tentang cara mengatur pemakaian kata-kata / istilah-istilah karena bahasa sebagai objek terpenting dalam pemikiran filsafat, para ahli pikir menyebutnya sebagai logosentris. Para paruh pertama abad ke-20 ini timbul aliran-aliran kefilsafatan,seperti: Neo-Thomisme, Neo-Kantianisme, Neo-Hegelianisme, Kritika Ilmu, Historisme, Irasionalisme, Neo-Vitalisme, Spiritualisme, Neo-Positivisme. Pada Awal belahan akhir abad ke-20 muncul aliran-aliran kefilsafatan yang lebih dapat memberikan corak pemikiran dewasa ini, seperti: 
1. Filsafat Analitis
2. Strukturalisme
3. Filsafat Eksistensi, 
4. Kritika Sosial.
5. Plato atau Aristoteles, sampai munculnya filosof Plotinus (204 – 270).
6. Lima abad dari adanya kekosongan di atas diisi oleh aliran-aliran besar seperti: Epikurisme, Stoaisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme. 
1. Epicurisme Sebagai tokohnya Epicurus (341 – 271 SM), lahir di Samos dan mendapatkan pendidikan di Athena. Pokok ajarannya adalah bagaimana agar manusia itu dalam hidupnya bahagia. Epicurus mengemukakan bahwa agar manusia dalam hidupnya bahagia terlebih dahulu harus memperoleh ketenangan jiwa (ataraxia). Terdapat tiga ketakutan dalam diri manusia seperti berikut ini: a. manusia takut terhadap kemarahan dewa, b. manusia takut terhadap kematian, c. manusia takut terhadap nasib. 
2. Stoaisme Sebagai tokohnya adalah Zeno (366 – 264 SM) yang berasal dari Citium, Cyprus. Pokok ajarannya adalah bagaimana manusia dalam hidupnya dapat bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut manusia harus haromoni terhadap dunia (alam) dan harmoni dengan dirinya sendiri. 
3. Skeptisisme Tokoh skeptisisme adalah Pyrrhe (360 – 270 SM). Pokok ajarannya adalah bagaimana cara manusia agar dapat hidup berbahagia. Hal ini ia menengarai bahwa sebagian besar manusia itu hidupnya tidak bahagia, sehingga manusia sukar sekali mencapai kebijaksanaan. Aliran yang lain tingkatannya lebih kecil dari ketiga aliran diatas adalah : Neopythagoras (merupakan campuran dari ajaran Plato, Aristoteles, dan Kaum Stoa). 

4. Neoplatonisme Tokohnya adalah Plotinus dan Ammonius. Plotinus (204 – 270SM) lahir di Lykopolis, Mesir. Titik tolak pemikiran filsafat Plotinus adalah bahwa asas yang menguasai segala sesuatu adalah satu. Pemikirannya, karena Tuhan isi dan titik tolak pemikirannya,Tuhan dianggap Kebaikan Tertinggi dan sekaligus menjadi tujuan semua kehendak.

MANUSIA DAN TUBUHNYA

MANUSIA DAN TUBUHNYA

Manusia adalah makhluk yang memiliki tubuh. Karena itu menjadi sadar bahwa tubuhnya bersatu dengan realitas disekitarnya. Cacat pada tubuhnya dapat mengurangi tingkat kesadarannya dan jika cacat tersebut sangat parah sehingga mengenai seluruh indranya, maka ia juga tidak akan mampu mengerti dunia. Jadi berkat tubuhnya manusia mampu menyatakan hidupnya. Jiwa adalah kemampuan rohani. Oleh karena itu, jia dapat berdiri sendiri serta bisa menghadapi diri sendiri serta benda lain dengan sadar. 
Tubuh tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, maka akan muncul 3 pendapat yang salah, yaitu :
1. Pendapat idealistis Pada pandangan ini roh adalah sesuatu semacam listrik. Tubuh dan roh tidak pernah bertentangan, namun tubh seolah-olah tidak ada, yang ada hanyalah roh.
2. Pandangan materialistis Bahwa orang tidak perlu berpikir lebih lanjut karena yang ada hanyalah tubuh. Pendapat ini tidak riil, karena didalam manusia ada beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan, misalnya cinta kasih / kemampuan untuk memandang realitas atas dirinya.

3. Pendapat yang memandang tubuh semata-mata sebagai lawan yang jahat dari roh. Tubuh dianggap sebagai penggerak kearah kejahatan. Pandangan ini bersifat dualistis, karena memandang tubuh dan jiwa sebagai 2 hal yang berdiri sendiri-sendiri. ( Sarwoko Soemowinoto. 2008. Hal:63 ). 

PRINSIP LOGIKO HIPOTETIKO VERIKATIF

PRINSIP LOGIKO HIPOTETIKO VERIKATIF

Prinsif Logiko-Hipotetiko-Verikatif mengandung makna bahwa: suatu penalaran ilmiah harus mempergunakan logika tertentu sehingga prinsif tersebut (a) konsisten dengan teori sebelumnya sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertentangan dengan teori lain secara keseluruhan. (b) harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang bagaimanapun konsistennya jika tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Dalam rangka pengujian empiris tersebutlah prinsif  Hipotetiko diperlukan untuk membuat dugaan sementara terhadap permasalahan yang sedang dihadapi yang disebut Hipotesis.  Prinsif Verifikatif adalah lanjutan dari prinsif Hipotetiko dimana analisis ilmiah harus dilanjutkan dengan melakukan verifikasi apakah hipotesis yang diajukan benar atau tidak.  Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan logico-hypotetico-verifikasi terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut: 
(1) Perumusan masalah yang merupakan pernyataan obyek empiris yang jelas batas-batasnya dan dapat diidentifikasikan factor-faktor terkait, 
(2) Kerangka berpikir merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat dari berbagai factor yang ada yang saling terkait yang membentuk konstelasi permasalahan. 
(3) Perumusan Hipotesis merupakan jawaban sementara yang merupakan kesimpulan kerangka berpikir yang dikembangkan. 
(4) Pengujian Hipotesis merupakan proses verikatif dengan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis, apakah mendukung hipotesis atau tidak. 
(5) Penarikan Kesimpulan merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan ditolak atau diterima. 

Prinsif Sistematis-Terkontrol-Empris merupakan prinsif penalaran ilmiah dengan melibatkan berbagai disiplin keilmuan dalam melakukan penelaahan bersama dengan sarana yang ada seperti bahasa, logika matematika dan statistika.  Terkontrol artinya penelaahan bersama diarahkan untuk menghilangkan lingkup analisis keilmuan yang sempit dan sektoral agar tidak terjadi kaburnya batas-batas disiplin keilmuan yang makin lama memang makin terspesialisasikan dengan jalan mengikatnya secara federatif dalam suatu pendekatan multi-sipliner yang terarah atau terkontrol. Penelaahan multisipliner harus sistemik, terkontrol dan selanjutnya dilakukan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta- fakta yang mendukung pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran multisipliner.  

ILMU DAN NILAI

ILMU DAN NILAI

Kaum positivisme yang tidak membedakan ilmu alam, sosial dan ilmu kemanusiaan merupakan pembela gigih gagasan ilmu bebas nilai. Arti bebas nilai bagi mereka antara lain tampak pada penggunaan metodologi yang sama bagi semua ilmu tanpa mempersoalkan perbedaan objek tiap ilmu yang memiliki ciri khas. Dalam sejarah pemikiran Descartes (1596-1650) yang mencoba dengan keraguan metodisnya mencari titik tolak kebenaran yang tidak dikaitkan baik pada dogma maupun nilai tertentu. Ia menemukan bahwa dasar yang pasti dari kebenaran adalah “Akuyang berpikir”. Dari titik tolak itulah kebenaran lain harus diturunkan. Auguste Comte (1798-1857) bahkan berpendapat lebih tajam, penjelasan berbagai gejala yang didasarkan pada titik tolak ajaran agama (teologi) disamakan dengan tahap berpikir manusia sewaktu masih anak-anak. Penjelasan berbagai gejala dalam rangka mencari kebenaran haruslah dengan cara positif lewat percobaan (eksperimen) dalam pengalaman indrawi.

Inilah yang disebut ilmu. Perjalanan pemikiran ilmu dan filsafatnya bahkan mencatat munculnya kaum neopositivisme yang beranggapan pernbicaraan tentang niiai, metafisika, dan Tuhan tidak bermakna karena tidak bisa diuji secara empiris (diverifikasi). Peinbicaraan lebih lanjut mengenai masalah ini dapat dibaca pada tulisan “Aliran- Aliran dan Tokoh-Tokoh Filsafat Ilmu”. Perkembangan lebih lanjut khususnya dalam ilmu sosial dan kemanusiaan menunjukkan bahwa persoalan metodologi pun tidak bebas dari perdebatan mengenai nilai. Mazhab Frankfurt yang dimotori Horkheimer bahkan menuduh ilmu sosial yang bebas nilai lebih merupakan ideologi ketimbang ilmu karena dengan mempertahankan gagasan bebas niiai, ilmu-ilmu sosial itu sebenarnya bersikap membenarkan keadaan sosial yang terjadi di tengah masyarakat yang ingin dipertahankannya dalam terminologi bebas nilai. Ilrnu-ilmu sosial seperti itu tidak lagi memiliki daya kritis untuk mempertanyakan niiai-nilai yang ingin dipertahankan. Pertanyaan di sekitar tujuan-tujuan dan cara pengembangan ilmu yang tidak dapat dijawab sendiri oleh ilmu kiranya akan memaksa ilmu untuk mencari referensi kepada patokanpatokan lain, seperti moral dan agama. Tentu saja, keadaan ini tidak akan memaksa kita kembali ke abad pertengahan ketika Galileo diadili, melainkan untuk memberi makna barn baik kepada ilmu maupun nilai. Inilah tantangan bare yang harus dihadapi dewasa ini.  

FILSAFAT ILMU ERA POSITIVISME

FILSAFAT ILMU ERA POSITIVISME

Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu dan metode ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad XX tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran Wina, di antaranya Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick. Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif. Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya. Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era baru. Sejak tahun 1920 panggung filsafat ilmu pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang disebut Neopositivisme dan Empirisme Logis.  Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris, Wiener Kreis, Jerman). Aliran ini merupakan bentuk ekstrim dari Empirisme. Aliran ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan Positivisme Logic yang memiliki pengaruh mendasar bagi perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat pengaruh dari tiga arah.

Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis. Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya dalil-dalil logika dan matematika yang dihasilkan lewat pengalaman yang memuat serentetan tutologi -subjek dan predikat yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang meliputi segala data itu. Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah menjalankan analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat cenderung bersifat Logosentrisme.

FILSAFAT ILMU ERA RENAISANCE

FILSAFAT ILMU ERA RENAISANCE

Memasuki masa Rennaisance, otoritas Aritoteles tersisihkan oleh metode dan pandangan baru terhadap alam yang biasa disebut Copernican Revolution yang dipelopori oleh sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan Issac Newton (1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode eksperimen atas dasar yang kukuh.11   Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, yang ditandi dengan munculnya Roger Bacon (1561-1626).  Bacon lahir di ambang masuknya zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.  Bacon menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun harus bersifat kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia; human knowledge adalah human power.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode eksperimental dana matematis memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan akhirnya ditinggalkan secara defenitif. Roger Bacon adalah peletak dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bacon mengarang Novum Organon dengan maksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan teori baru. Karyanya tersebut sangat mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa sesudahnya. Novum Organon atau New Instrumen berisi suatu pengukuihan penerimaan teori empiris tentang penyelidikan dan tidak perlu bertumpu sepenuhnya kepada logika deduktifnya Aritoteles sebab dia pandang absurd. Kehadiran Bacon memberi corak baru bagi perkembangan Filsafat Ilmu, khususnya tentang metode ilmiah. Hal ini sebagai yang dikemukakan oleh A. B. Shah dalam Scientific Method, bahwa: “Pengertian yang paling baik tentang metode ilmiah dapat dilukiskan yang paling baik menurut induksi Bacon”. Hart mengaggap Bacon sebagai filosof pertama yang bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat dapat mengubah dunia dan dengan sangat efektif menganjurkan penyelidikan ilmiah. Beliaulah peletak dasar-dasar metode induksi modern dan menjadi pelopor usaha untuk mensistimatisir secara logis prosedur ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis yaitu menjadikan untuk manusia menguasai kekuasaan alam melalui penemauan ilmiah. Menurut Bacon, jiwa manusia yang berakal mempunyai kemamapuan triganda, yaitu ingatan (memoria), daya khayal (imaginatio) dan akal (ratio). Ketiga aspek tersebut merupakan dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut filsafat (philosophia) sebagai hasil kerja akal. Sebagai pelopor perkembangan filsafat ilmu pengetahuan, Roger Bacon juga menguraikan tentang logika. Bacon menyusun logika meliputi empat macam keterampilan (ars) yaitu bidang penemuan (ars inveniendi), bidang perumusan kesimpulan secara tepat (ars iudicandi), bidang mempertahankan apa yang sudah dimengerti (ars retinendi), dan bidang pengajaran (ars tradendi). Di sini nampak bahwa di tengah kancah perkembangan ilmu yang larut dengan pengaruh Aritoteles kehadiran Bacon berusaha untuk mengubah opini umum tentang sillogisme yang telah ditawarkan Aristoteles sebelumnya. Bacon mengatakan bahwa logika yang digunakan sejak zaman Aristoteles hingga sekarang (zamannya, pen.) lebih merugikan dari pada menguntungkan. Sillogisme terdiri atas proposisi-proposisi. Proposisi terdiri atas kata-kata dana kata- kata adalah simbol pengertian. Sebab itu apabila pengertian itu sendiri yang merupakan persoalannya kacau balau dan secara tergesa-gesa diabstraksikan dari pada faktanya, maka tidak mungkin diperoleh .. atas yang kokoh.atu-satunya harapan terletak pada induksi modern. Dalam perkembangan selanjutnya muncul John Locke (1632-1714) David Hume (1711-1776) dan Immanuel Kant (1724-1804). Ketiga filosof ini memberi pengaruh cukup besar terhadap perkembangan filsafat ilmu selanjutnya. Locke berpendapat bahwa ketika seorang bayi lahir akalnya seperti papan tulis yang kosong atau kamera yang merekam kesan-kesan dari luar. Pengetahuan hanya berasal dari indra yang dibantu oleh pemikiran, ingatan, perasaan indrawi diatur menjadi bermacam-macam pengetahuan. Locke mengakui adanya ide bawaan (innate ideas).

Dalam perkembangan pengetahuan teori Locke dikenal dengan istilah  teori tabula rasa. Berdasar pada empirisme radikal yang dianutnya Hume yakin bahwa cara kerja logis induksi yang diperkenalkan oleh Bacon tidak mempunyai dasar teoritis sama sekali. Logika induktif ialah kontradiksi: dua kata yang bertentangan satu sama lain sebab induksi melanggar salah satu hukum logika yaitu bahwa kesimpulan tidak boleh leboh luas dari pada premis. Sanggahan Hume ini secara konsekwen sesuai dengan anggapan dasarnya bahwa hanya ada dua cara pengetahuan, yaitu pengetahuan empiris dan abstract reasoning concerning quantoty or number, yang keduanya deduktif. Kant dalam hal ini memperkenalkan cara pengenalan dan mengambil kesimpulan secara sintetis yang di peroleh secara a posteriori dan putusan analitis dan diperoleh secara a priori, di samping itu juga kesimpulan yang bersifat sintetis yang juga diperoleh secara a priori. Ilmu pasti disusun atas putusan yang a priori yang bersifat sintetis. Ilmu pengetahuan mengandaikan adanya putusan - putusan yang memberikan pengertian baru (sintetis) dan yang pasti mutlak serta bersifat umum (a priori). Maka ilmu pengetahuan menuntut adanya putusan-putusan yang bersifat a priori yang bersifat sintesis. Ketiga teorinya ini dikenal dengan nama Kritik Rasio Murni yang dikemukakan dalam Kritik der Reinen Vernunft. Memasuki abad XIX muncul Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) memperkenalkan filsafat Wissenchaftslehre atau Ajaran Ilmu Pengetahuan (Epistimologi), yang bukan-nya suatu pemikiran teoritis tentang struktur dan hubungan ilmu pengetahuan melainkan suatu penyadaran tentang pengenalan diri sendiri yaitu penyadaran metodis di bidang pengetahuan itu sendiri. Fichte menentang Kant yang mengatakan bahwa berfikir secara ilmu-pasti alamlah yang akan memberikan kepastian di bidang pengenalan. Fichte tidak memisahkan antara rasio teoritis dan rasio praktis.

PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU

PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU

Filsafat ilmu sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun. Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut:
1. Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Renaisance.
2. Filsafat Ilmu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivisme
3. Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas
4. Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang.
Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut akan penulis uraikan dengan mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri.



MANUSIA DAN KEBENARAN

MANUSIA DAN KEBENARAN

Manusia mencari kebenaran dengan menggunakan akal sehat (common  sense)   dan dengan ilmu pengetahuan. Letak  perbedaan  yang  mendasar  antara  keduanya  ialah  berkisar  pada  kata  “sistematik”  dan  “terkendali”.  Ada  lima  hal  pokok  yang  membedakan  antara  ilmu  dan  akal  sehat.  Yang  pertama,  ilmu  pengetahuan  dikembangkan  melalui  struktur-stuktur  teori,  dan  diuji  konsistensi  internalnya.  Dalam  mengembangkan  strukturnya,  hal  itu  dilakukan  dengan  tes  ataupun pengujian  secara  empiris/faktual.  Sedang  penggunaan  akal  sehat  biasanya  tidak.  Yang  kedua,  dalam  ilmu  pengetahuan,  teori  dan  hipotesis  selalu  diuji  secara  empiris/faktual.  Halnya  dengan  orang  yang  bukan  ilmuwan  dengan  cara  “selektif”.  Yang  ketiga,  adanya  pengertian  kendali  (kontrol)  yang  dalam  penelitian  ilmiah  dapat  mempunyai  pengertian  yang  bermacam-macam.  Yang  keempat,  ilmu  pengetahuan  menekankan  adanya  hubungan  antara  fenomena  secara  sadar  dan  sistematis.  Pola  penghubungnya tidak  dilakukan  secara  asal- asalan.  Yang  kelima,  perbedaan  terletak  pada  cara  memberi penjelasan  yang  berlainan  dalam  mengamati  suatu  fenomena.  Dalam  menerangkan  hubungan  antar  fenomena,  ilmuwan  melakukan  dengan  hati-hati  dan  menghindari  penafsiran  yang  bersifat  metafisis.  Proposisi  yang  dihasilkan  selalu  terbuka  untuk  pengamatan  dan  pengujian  secara  ilmiah. 


KEHIDUPAN DAN PERJUANGAN

KEHIDUPAN DAN PERJUANGAN

Kehidupan itu berlangsung di dalam suatu proses yang terus-menerus bekerja dan terus menerus menjadi.  Bahkan dari evolusi diketahui bahwa sebelum kehidupan ada di semesta ini, proses menjadi terus terjadi. Dari data yang ada diketahui bahwa perubahan dan pembentukan struktur tanah, bebatuan terus terjadi. Bahkan bumi dialami terus menerus memperbaharui dirinya dalam bentukbentuk tertentu seperti pergeseran lempengan bumi yang kemudian muncul dalam bentuk gejala alam seperti tsunami, gunung, munculnya benua baru dan hilangnya atau penurunan daratan. Proses yang terus menerus menjadi inilah yang  disebut perjuangan.
Sebagai bagian dari keseluruhan ciptaan, kehidupan manusia juga berlangsung dalam perjuangan. Dalam awal terbentuknya, lahir, hidup sampai mati, kehidupan manusia diwarnai perjuangan. Dari sejak bayi manusia telah berjuang menggerakkan tangan dan kaki, membolak balikkan badan, tengkurap, merangkak, duduk, berdiri, berjalan dan berlari. Sampai pada titik tersebut saja, tentu sudah tidak terhitung lagi berapa kali seorang anak manusia gagal dan mengalami kesakitan. Tetapi sebagai anak, pengalaman semacam itu tidak pernah membuatnya untuk berhenti mencoba. Bahkan dengan perjuangan itulah seorang anak manusia menjadi lebih hebat. Bila manusia mengalami kemajuan dan kesuksesan yang diperolehnya saat ini, baik secara individual maupun secara kelompok, hal itu karena perjuangan manusia sebelumnya. Dengan kata lain, kemajuan apapun yang telah dicapai oleh manusia hingga saat ini, bahkan yang tidak pernah terbayangkan.
Dengan adanya tanggapan kritis dari beberapa segi ini, menunjukkan bahwa ajaran Kaum Stoa tentang takdir, kendati memiliki beberapa kekuatan namun juga memuat beberapa kelemahan dan masalah hakiki bagi kehidupan yang dalam perjalanan filsafat hingga sekarang sering semakin sadar bahwa yang disebut penemuan baru itu muncul dari suatu usaha mencoba-salah dan mencoba lagi.  Dengan kata lain penemuan itu ada karena adanya perjuangan yang tidak mengenal lelah untuk terusmenerus mencoba, baik orang per orang maupun kelompok orang.
Menurut Stoltz (2005,19) individu yang bertahan dalam menghadapi setiap tantangan dan kesulitan hidup adalah pribadi-pribadi pejuang atau pendaki, yang selalu terus-menerus berusaha untuk:
1.      Mendapatkan selalu yang terbaik dari kehidupan.
2.      Membaktikan diri mereka pada pertumbuhan dan belajar seumur hidup.
3.      Tertantang untuk berkontribusi terhadap kehidupan ini.
4.      Tidak takut untuk menjelajahi segala kemungkinan dan potensi tanpa batas yang ada di antara manusia.
5.      Menyambut baik setiap perubahan tanpa pernah melepaskan tanggung jawab.

6.      Mereka terus berjuang, mencari dan menemukan pertumbuhan dan perbaikan seumur hidup.

Minggu, 20 November 2016

KEJADIAN DAN TAKDIR

KEJADIAN DAN TAKDIR

Kejadian-kejadian dalam hidup ini sudah ditentukan oleh Allah. Argumentasi pernyataan ini dapat muncul dalam rumusan berikut ini:  karena Allah adalah Mahakuasa maka pastilah Ia mampu menentukan kejadian-kejadian sebelum kejadian-kejadian itu sendiri. terjadi.  Zenon (333 - 262 SM) adalah seorang filsuf Yunani kuno pendiri aliran filsafat Stoa. Nama Stoa diambil dari kata Yunani Stoa poikile atau tiang-tiang pilar penuh hiasan yakni tempat para filsuf berkumpul dan berdiskusi. Para pengikut aliran stoa atau Kaum Stoa sudah mendiskusikan masalah takdir yang kemudian menyulut perdebatan di antara para filsuf sezamannya. Beberapa pendapat dan ajaran kaum stoa, antara lain:
1.             Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Sang Pencipta, yang menentukan keteraturan segala sesuatu dengan mantap dan mengarahkannya pada tujuan yang telah ditetapkan sejak semula. Keteraturan yang mantap segala sesuatu ini disebutnya sebagai takdir/nasib, sedangkan keterarahan segala sesuatu pada tujuan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta disebut sebagai penyelengaraan. Selanjutnya, dalam jagad raya tidak ada sesuatu pun bisa luput dari keberlakuan mutlak hukum takdir ini.
2.             Ada ajaran tentang keharusan mengikuti hukum takdir ini dimana manusia hendaknya mengikuti saja suratan takdir dan penentuan nasib bagi dirinya. Dengan demikian ia akan mencapai keselarasan dengan takdirnya akan membawanya kepada kebahagiaan. Kalau pun manusia mencoba melawan hukum takdir, usaha itu tak akan berhasil, karena akibatnya ia akan susah sendiri. Jadi hukum takdir itu harus ditaati, terlepas dari perasaan senang atau tidak senang, menguntungkan atau merugikan.
3.             Kebebasan manusia tidak berarti bahwa manusia bebas dari takdir melainkan bahwa ia secara sadar dan rela menyesuaikan diri dengan hukum alam yang tidak terelakkan itu. Bila manusia telah menerima dengan sadar dan rela apa yang telah disuratkan padanya oleh takdir, maka tidak akan terjadi sesuatu yang melawan kehendaknya. Dengan kata lain ia seluruhnya bebas, sebab ia telah menentukan dirinya sendiri dan tidak merasakan hukum alam sebagai unsur luar dirinya melainkan sebagai unsur yang telah menyatukan dengan dirinya.
4.             Tujuan hidup kaum Stoa adalah hidup selaras dengan takdir. Untuk mencapai tujuan itu, orang yang bijaksana akan membebaskan dirinya dari segala kecenderungan dan dorongan tak teratur. Orang yang hidup tanpa nafsunafsu yang menggoncangkan akan mengalami ketenangan hidup. Jika upaya ini berhasil, nikmat atau sakit  baginya sama saja. Dalam penderitaan, Kaum Stoa masih bisa merasa kesejukan dan ketenangtentraman hati.
5.             Dalam kehidupan sehari-hari dapat saja terjadi orang dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak dapat di terima karena secara emosional ia tidak mampu lagi menanggungnya. Misalnya, suatu niat penuh tanggung jawab untuk memperbaiki sistem admisnistrasi negara tetapi menemui jalan buntu. Berhadapan dengan situasi itu, Kaum Stoa menawarkan pilihan terakhir, bunuh diri! Daripada mengambil sikap yang tidak sesuai dengan keseimbangan batin dan takdir maka lebih baik bunuh diri dengan sepenuh kesadaran dan dengan segala ketenangan. Ajaran itu bahkan dipraktekkan oleh Zenon sendiri dengan bunuh diri lantaran mengalami luka berat setelah jatuh.


Jumat, 18 November 2016

ASPEK EPISTEMOLOGI FILSAFAT FORMALISME



ASPEK EPISTEMOLOGI FILSAFAT FORMALISME

Pengetahuan matematika merupakan keyakinan yang terbuktikan atau lebih tepatnya merupakan pengetahuan proposisional yang memuat proposisi proposisi yang diterima, dan tersedia landasan yang cukup untuk melakukan asersi. Matematika adalah pengetahuan a priori, karena memuat proposisi yang diasersi melalui pemikiran, menggunakan logika deduktif dan definisi, konjungsi, aksioma atau postulat metamatika, sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan matematis. 
Pendekatan yang lebih luas yang dapat diadopsi secara epistemologi, mendasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan dalam matematika dinyatakan dengan sebuah himpunan proposisi, bersama-sama dengan sebuah himpunan prosedur untuk pembuktian proposisi, sehingga tersedia jaminan untuk melakukan asersi. Berdasarkan hal ini, pengetahuan matematika terdiri dari seperangkat himpunan proposisi bersama-sama dengan pembuktiannya. Karena pembuktian matematika didasarkan pada cara berpikir, dan tidak menggunakan fakta-fakta empiris, maka pengetahuan matematika adalah pengetahuan yang bersifat paling pasti dari seluruh pengetahuan yang ada di dunia. Layaklah jika secara agak anarkis matematika menyebut dirinya sebagai dewa pengetahuan yang hanya mau mematuhi aturan yang dibuatnya sendiri.

FILSAFAT FORMALISME



FILSAFAT FORMALISME
                                                      
Aliran formalisme dalam matematika dapat dilacak pada Bishop Berkeley, tetapi pencetus utamanya adalah David Hilbert (1862-1943), pada tahun 1925, diteruskan oleh J. Von Neumann tahun1931 dan H. Curry tahun 1951. Aliran Formalisme banyak dianut oleh matematikawan Amerika akibat pengaruh Oswald Veblen dan V.E. Huntington. Aliran ini sering disebut aliran postulatsional atau aliran aksiomatik dan dalam pendidikan matematika melahirkan jenis matematika yang disebut matematika modern (New Math) seperti yang sekarang diberikan di sekolah-sekolah.
Formalisme dibentuk dengan tujuan khusus menyingkirkan semua kontradiksi dalam matematika, antara lain mengatasi paradok dalam teori himpunan (Paradok Russel/Paradok Tukang Cukur) dan untuk menyelesaikan tantangan matematika klasik yang disebabkan oleh kritik kaum Intuisionis. Dengan kata lain aliran formalisme bertujuan untuk menterjemahkan seluruh matematika ke dalam sistem formal yang tidak dapat diinterpretasikan (kosong dari arti). 
Aliran formalisme menganjurkan pendekatan murni abstrak, berangkat dari prinsip awal, dan mendeduksi segalanya dari prinsip awal tersebut. Karyakarya yang dihasilkannnya sama sekali tidak mempunyai (dan memang tidak perlu mempunyai) hubungan dengan ilmu pengetahuan dan dunia nyata, sesuatu yang sangat membanggakan aliran ini. Menurut aliran formalisme, matematika sekedar rekayasa simbol berdasarkan aturan tertentu untuk menghasilkan sebuah sistem pernyataan tautologis, yang memiliki konsistensi internal, tetapi kosong dari makna. Matematika direduksi hanya menjadi sebuah permainan intelektual, seperti catur. Dalam bahasa populer, formalisme memandang matematika sebagai permainan formal penuh makna yang dimainkan dengan lambang-lambang di atas kertas menggunakan aturan tertentu. 
Kaum formalis memandang matematika sebagai koleksi perkembangan abstrak, dimana term-term matematika semata-mata hanyalah lambang-lambang dan pernyataan adalah rumus-rumus yang melibatkan lambang-lambang tersebut. Dasar untuk aritmatika tidak terletak pada logika tetapi pada koleksi tanda-tanda pralogis atau lambang-lambang dalam seperangkat operasi dengan tanda-tanda ini. Oleh karena itu, menurut aliran Formalisme, matematika kosong dari muatan konkrit dan hanya memuat elemen-elemen lambang ideal, sehingga membangun kekonsistenan dari berbagai cabang matematika menjadi sangat penting. Tanpa disertai bukti kekonsistenan, seluruh penyelidikan matematika tidak berarti sama sekali. Dengan tesis kaum formalis ini, perkembangan matematika aksiomatis terdorong ke puncak kejayaan tertinggi.
  Sebagai akhir dari artikel ini, berikut adalah kritik naratif terhadap filsafat formalisme. Melalui konsep kekontinuan, kaum Formalis menerima kehadiran ketakberhinggaan. Persamaan diferensial menyatakan realitas sebagai sebuah kontinum, sehingga perubahan dalam ruang dan waktu dipahami terjadi secara mulus dan tak terputus. Akibatnya tidak tersedia ruang untuk perubahanperubahan yang terjadi secara mendadak. Kontinuitas adalah perubahan yang mulus dan gradual, bertahap dan tidak mendadak. Dalam persamaan diferensial, waktu dianggap terbagi dalam serangkaian time-step yang kecil, sebagai suatu pendekatan terhadap realitas, meskipun kenyataannya tidak ada hal seperti itu dalam realitas, sebab segalanya mengalir, pantharei, demikian Heraklitus.