PKL DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS
Fenomena
PKL adalah suatu fenomena sosial. Secara umum terdapat sejumlah ciri yang dapat
dilekatkan pada PKL, sekalipun di beberapa tempat ciri-ciri ini mungkin tidak
berlaku. Ciri-ciri yang dimaksud adalah berusaha di lokasi yang tidak sesuai
dengan peruntukannya; tidak dibekali izin usaha yang resmi dari instansi
berwenang; memiliki mobilitas tinggi (mudah berpindah-pindah mengikuti
akumulasi konsumen); melayani langsung konsumen akhir; tingkat kedisiplinan
terhadap hukum rendah; cenderung sangat pragmatis dalam memandang hukum.
Ciri
pertama tampaknya merupakan ciri yang paling dominan untuk menetapkan karakter
PKL. Pasal 1 butir 13 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 33 Tahun 2010 mendefinisikan PKL sebagai "kegiatan usaha jasa
perdagangan yang menempati prasarana kota, fasilitas sosial dan fasilitas umum
milik Pemerintah Daerah, tanah/lahan milik perorangan/badan yang telah mendapat
izin dari Gubernur.” Definisi ini kurang lebih masih seirama dengan aturan lama
yang pernah dimuat dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1978 tentang Pengaturan
Tempat dan Usaha serta Pembinaan Pedagang Kaki Lima dalam Wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, yang memaknai PKL sebagai “...mereka yang di dalam usahanya
mempergunakan bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat untuk kepentingan umum
yang bukan diperuntukkan tempat usaha serta tempat lain yang bukan
miliknya" (cetak tebal dan garis bawah oleh penulis—red). Definisi ini
mengandung konsekuensi pemikiran sebagai berikut: (a) PKL berusaha di tempat-tempat
yang diperuntukkan bagi kepentingan umum; (b) tempat-tempat tersebut bukan
untuk kegiatan usaha; (c) tempat-tempat tersebut tidak dimilikinya.
Sementara
itu, ciri kedua tidak selamanya dapat dilekatkan pada PKL. Logikanya, memang
setiap PKL yang berusaha di tempat-tempat menurut kriteria tidak boleh
diberikan izin oleh pemerintah. Jika pemerintah tetap memberikan izin untuk
kategori PKL demikian, secara definitif ada suatu kontradiksi peristilahan
(contradictio in terminis) serta terjadi inkonsistensi di dalam kebijakan
pemerintah. Namun rupanya peraturan memiliki logika berpikir tersendiri.
Kendati tempat usaha PKL tidak sesuai dengan peruntukannya, dalam kenyataannya
tetap ada usaha PKL yang diberikan izin. Dengan demikian, ada kriteria PKL yang
legal (karena diberikan izin berusaha di tempat yang sesungguhnya tidak sesuai
dengan peruntukannya) dan PKL yang ilegal (karena tidak berizin).
Tempat
berusaha yang boleh ditempati oleh PKL adalah tempat-tempat yang ditunjuk atau
ditetapkan oleh Gubernur, meliputi tempat yang dikuasai oleh pemerintah maupun
swasta. Di luar tempat-tempat yang telah ditunjuk/ditetapkan ini, tidak ada
izin untuk PKL. Mereka yang berusaha di tempat-tempat tersebut harus terdaftar.
Tempat usaha mereka tidak boleh berupa bangunan permanen (misalnya cukup berupa
tenda dan tidak boleh dijadikan tempat tinggal). Izin yang sudah diberikan
tidak boleh dipindahtangankan dalam bentuk apapun juga.
PKL
yang tidak berusaha di tempat yang ditunjuk/ditetapkan, diancam dengan sanksi
pidana. Sanksi juga dikenakan bagi mereka yang berusaha di tempat yang
diperbolehkan, tetapi tidak terdaftar dan tak berizin. Sementara itu, untuk
tempat-tempat yang sudah
ditunjuk/ditetapkan, namun kemudian disalahgunakan (misalnya didirikan bangunan
permanen), maka Gubernur dapat mencabut izin penggunaan tempat usaha
tersebut.
Suatu
penelitian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik DKI Jakarta dari waktu ke
waktu memperlihatkan bahwa lokasi yang paling banyak ditempati PKL adalah
trotoar dan badan jalan. Tempat lain adalah halaman pasar/pertokoan, lahan
parkir dan halte, jalur hijau dan taman kota, lahan kosong, dan halaman
terminal/stasiun (bandingkan dengan Bromley, 2000: 1–28).
Trotoar
dan badan jalan memang lokasi favorit PKL. Lokasi ini dipilih karena mereka
ingin sedekat mungkin "menjemput bola", yakni mencegat konsumen yang
membutuhkan layanan PKL.
Oleh
karena lokasi-lokasi tersebut tidak didesain sebagai tempat jual-beli, maka
izin penggunaan tempat-tempat tersebut diberikan secara terbatas. Para pelaku
usaha kecil sekelas PKL ini tentu menyadari hal tersebut. Itulah sebabnya,
sistem usaha mereka dijalankan dengan mobilitas tinggi. Mereka, misalnya,
menggunakan gerobak yang mudah berpindah atau tenda yang gampang
dibongkar-pasang.
Fakta
menunjukkan bahwa lokasi yang ditunjuk/ditetapkan secara resmi oleh pemerintah
daerah untuk para PKL ini jumlahnya sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah
PKL yang ada dan terus membanjiri ibukota Jakarta. Akibatnya, sebagian besar
PKL memilih berusaha di tempat-tempat yang tidak berizin.
Sekalipun
di lokasi tak berizin tersebut telah dipasang rambu-rambu larangan berdagang
atau kerap dilakukan razia oleh aparat pemerintah daerah, tetap saja PKL hadir
di sana. Tingkat kedisiplinan mereka terhadap hukum terkalahkan oleh sikap
pragmatis mereka dalam memandang hukum. Rambu-rambu, pengumuman, razia
penertiban, atau apapun larangan yang disampaikan, tidak ada artinya karena
semua itu bertolak belakang dengan prinsip kemanfaatan langsung yang dikejar.
Ulasan dari perspektif filosofis dapat dimulai dari prinsip kemanfaatan
ini.
Nilai
kemanfaatan (utilitas) merupakan kata kunci tentang persepsi para PKL ini dalam
melihat hukum. Nilai kemanfaatan adalah suatu nilai yang hadir secara konkret,
kasuistik, dan partikular. Fenomena PKL akan selalu ada di lokasi-lokasi
sepanjang di tempat itu mereka mendapatkan kemanfaatan demikian. Apa yang
dipandang bermanfaat oleh PKL ini adalah apa yang dilihat dari sudut pandang
masing-masing secara kasuistik dan untuk suatu tindakan itu sendiri saja. Nilai
kemanfaatan itu direfleksikan secara sempit sebagai keuntungan pribadi atau
sekelompok kecil di antara mereka. Mereka tidak pernah mengaitkan keuntungan
itu dengan "kemanfaatan" secara umum, apalagi kemanfaatan untuk hal-hal
yang bersifat estetis seperti kebersihan dan keindahan kota. Cara pandang
demikian dapat disebut sebagai cara pandang yang partikular.
Tentu
saja tidak cukup adil untuk memandang fenomena PKL dan cara pandang partikular
ini sebagai suatu "kesalahan" yang harus ditimpakan sepenuhnya kepada
masyarakat PKL tersebut. Cukup banyak penelitian yang menunjukkan bahwa PKL
merupakan komunitas yang swakarya, yaitu bekerja secara mandiri (wiraswasta),
ulet, dan sangat efisien. Mereka juga orang-orang yang tidak sepenuhnya "buta
hukum" atau "buta politik" (lihat misalnya Murray, 1994; dan
Simanjuntak, 2007).
Namun
nilai keadilan sendiri dalam perspektif filosofis menempati ruang yang secara
konvensional dipersepsikan berdimensi universal. Artinya, adil dan tidak adil
tidak bisa dikaji dengan melihat sudut pandang PKL itu semata. Tindakan
mengambil hak pejalan kaki untuk berjalan dengan aman dan nyaman di trotoar
atau tindakan mengambil sebagian badan jalan sehingga menghambat arus laju
kendaraan, boleh pula ditengarai sebagai perilaku tidak adil. Tindakan itu
disebut "tidak adil" karena ada hak orang lain yang sudah terampas.
Dengan demikian adil dan tidak adil adalah persoalan memperbandingkan antara
hak seseorang dengan hak pihak-pihak lain secara interaktif.
Kecenderungan
menggunakan perspektif nilai keadilan seperti ini jelas bukan tipikal yang
dapat dilekatkan kepada kelompok PKL. Wacana tentang keadilan adalah wacana
dari kalangan yang justru tidak terlibat langsung dengan kehadiran PKL. Dalam
bahasa filsafat, mereka dikatakan sebagai orang-orang yang melakukan distansi
(mengambil jarak) dari persoalan ini. Proses distansi ini tidak dapat serta
merta diartikan sebagai tindakan lari dari persoalan. Proses distansi justru
diperlukan agar mereka dapat memperoleh gambaran (picture) secara lebih luas,
sekalipun akhirnya menjadi tidak lagi detail. Sudut pandang seperti ini adalah
sudut pandang dari para pembentuk undang-undang. Sebagai catatan, dalam tulisan
ini istilah "undang-undang" diartikan secara material bukan secara formal.
Dua
sudut pandang yang telah dikemukakan, yakni perspektif PKL dan perspektif
pembentuk undang-undang, sering kali berbenturan. Di satu sisi, pembentuk
undang-undang ingin mengatur PKL sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Aturan itu harus berlaku umum, sehingga kepentingan umum pula yang dijadikan
acuan utama, bukan sekadar kepentingan mikro kaum PKL saja. Untuk itu maka
nilai keadilan lalu diadopsi ke dalam undang-undang yang dibuat.
Jadi
setiap undang-undang sudah harus diasumsikan adil begitu undang-undang itu
diberlakukan dan masuk dalam konstelasi norma hukum positif. Ajaran demikian
merupakan ciri khas dari Positivisme Hukum.
Idealnya,
studi tentang hukum harus dilakukan dalam rangka mendorong tumbuhnya dominasi
kesadaran hukum di atas perasaan hukum. Konsep ini sesungguhnya bukan barang
baru karena telah disampaikan jauh-jauh hari oleh John Austin dan Jeremy
Bentham sebagai pengemuka Teori Kehendak (The Will Theory). Menurut mereka,
pada saat pembentuk undang-undang memformulasikan suatu peraturan, ia harus
memerhatikan kehendak-kehendak semua komponen, mulai dari penguasa pada saat
itu (current sovereign), penguasa sebelumnya (earlier sovereign), penguasa di
tingkat bawah (subordinate powerholders), dan pemangku kepentingan lainnya (any
other group/individuals). Di sini terlihat bahwa kehendak individu tetap diberi
tempat untuk diakomodasi, bahkan tidak boleh ditinggalkan, tetapi berada pada
tingkat terbawah. Kehendak-kehendak itu semua menyatu dan mencerminkan satu
kesatuan kehendak (unity of wills). Adanya kesatuan kehendak inilah yang
menjadi syarat untuk tercapainya kesatuan dalam penegakan (unity of
enforcement) (Harris, 1982:25–33; juga Shidarta, 2005:13–15).
Sebagaimana
layaknya sebuah asumsi, apa yang dinyatakan oleh Positivisme Hukum tersebut ada
kemungkinannya meleset. Kesatuan penerapan yang diasumsikan mengikuti kesatuan
kehendak (unity of enforcement entails unity of will) dalam kenyataannya sering
tidak berlangsung semulus yang dibayangkan.
Tugas menyatukan kehendak (unity of will) sebenarnya adalah tugas dalam
tataran filosofis. Repotnya, dalam sistem ketatanegaraan modern, tugas ini
tidak lagi dijalankan oleh para filsuf seperti disarankan oleh filsuf Yunani
Kuno, Plato. Tugas mengakomodasi kepentingan dan menyatukannya dalam suatu
rumusan filosofis, telah diambil alih oleh para politikus. Mereka sebagian
adalah wakil- wakil rakyat yang duduk di parlemen, baik di tingkat pusat maupun
daerah.
Kaum
politikus pada dasarnya adalah kaum penyuara kepentingan. Dalam praktik,
artikulasi kepentingan yang mereka suarakan sangat bergantung pada lobi-lobi
politik. Makin besar akses suatu kelompok kepentingan terhadap para politikus
ini, akan makin besar kemungkinan kepentingan itu terakomodasi ke dalam norma
hukum positif yang dihasilkan. Dalam posisi seperti inilah lalu terjadi
"bias keadilan" di dalam undang-undang yang dihasilkan.
Titik
persoalan mulai terlihat di sini. Undang-undang yang diasumsikan
"adil" itu lalu harus diterapkan dengan sepenuh hati oleh aparat
penegak hukum di lapangan (untiy of enforcement). Untuk menegakkan aturan ini
lalu diadakan operasi penertiban. Intensitas penertiban tadi bervariasi, mulai
dari upaya preventif sampai tindakan keras dan frontal.
Dari
kaca mata aparat di lapangan, penertiban ini merupakan cerminan tanggung jawab
mereka di hadapan hukum. Menurut mereka, aparat penegak hukum harus menerapkan
hukum. Hukum di sini adalah undang-undang. Jika undang-undang tidak dijalankan,
tidak akan ada kepastian hukum.
Alhasil,
terlihat ada tiga nilai yang saling bersitegang, yang masing-masing
diperjuangkan oleh pembentuk undang-undang, aparat penegak hukum, dan PKL.
Nilai-nilai itu adalah nilai keadilan (dipersepsikan oleh pembentuk
undang-undang), nilai kepastian hukum (dipersepsikan oleh aparat penegak
hukum), dan nilai kemanfaatan (dipersepsikan oleh PKL). Ketiga nilai ini dapat
disebut sebagai tiga serangkai tujuan hukum (Radbruch, 1973:170–179). Dengan
demikian, dalam perspektif filosofis, keberadaan PKL sesungguhnya dapat dilihat
dari tiga sudut pandang (dimensi aksiologis) yang masing-masing mewakili tiga
kelompok kepentingan seperti yang telah disebutkan. Efektivitas upaya pembinaan
dan pemberian izin terhadap PKL di kota-kota besar seperti Jakarta selayaknya
berangkat dari kerangka berpikir ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar