Selasa, 13 Desember 2016

PKL DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS

PKL DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS

Fenomena PKL adalah suatu fenomena sosial. Secara umum terdapat sejumlah ciri yang dapat dilekatkan pada PKL, sekalipun di beberapa tempat ciri-ciri ini mungkin tidak berlaku. Ciri-ciri yang dimaksud adalah berusaha di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya; tidak dibekali izin usaha yang resmi dari instansi berwenang; memiliki mobilitas tinggi (mudah berpindah-pindah mengikuti akumulasi konsumen); melayani langsung konsumen akhir; tingkat kedisiplinan terhadap hukum rendah; cenderung sangat pragmatis dalam memandang hukum. 
Ciri pertama tampaknya merupakan ciri yang paling dominan untuk menetapkan karakter PKL. Pasal 1 butir 13 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 33 Tahun 2010 mendefinisikan PKL sebagai "kegiatan usaha jasa perdagangan yang menempati prasarana kota, fasilitas sosial dan fasilitas umum milik Pemerintah Daerah, tanah/lahan milik perorangan/badan yang telah mendapat izin dari Gubernur.” Definisi ini kurang lebih masih seirama dengan aturan lama yang pernah dimuat dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1978 tentang Pengaturan Tempat dan Usaha serta Pembinaan Pedagang Kaki Lima dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, yang memaknai PKL sebagai “...mereka yang di dalam usahanya mempergunakan bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat untuk kepentingan umum yang bukan diperuntukkan tempat usaha serta tempat lain yang bukan miliknya" (cetak tebal dan garis bawah oleh penulis—red). Definisi ini mengandung konsekuensi pemikiran sebagai berikut: (a) PKL berusaha di tempat-tempat yang diperuntukkan bagi kepentingan umum; (b) tempat-tempat tersebut bukan untuk kegiatan usaha; (c) tempat-tempat tersebut tidak dimilikinya. 
Sementara itu, ciri kedua tidak selamanya dapat dilekatkan pada PKL. Logikanya, memang setiap PKL yang berusaha di tempat-tempat menurut kriteria tidak boleh diberikan izin oleh pemerintah. Jika pemerintah tetap memberikan izin untuk kategori PKL demikian, secara definitif ada suatu kontradiksi peristilahan (contradictio in terminis) serta terjadi inkonsistensi di dalam kebijakan pemerintah. Namun rupanya peraturan memiliki logika berpikir tersendiri. Kendati tempat usaha PKL tidak sesuai dengan peruntukannya, dalam kenyataannya tetap ada usaha PKL yang diberikan izin. Dengan demikian, ada kriteria PKL yang legal (karena diberikan izin berusaha di tempat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan peruntukannya) dan PKL yang ilegal (karena tidak berizin).  
Tempat berusaha yang boleh ditempati oleh PKL adalah tempat-tempat yang ditunjuk atau ditetapkan oleh Gubernur, meliputi tempat yang dikuasai oleh pemerintah maupun swasta. Di luar tempat-tempat yang telah ditunjuk/ditetapkan ini, tidak ada izin untuk PKL. Mereka yang berusaha di tempat-tempat tersebut harus terdaftar. Tempat usaha mereka tidak boleh berupa bangunan permanen (misalnya cukup berupa tenda dan tidak boleh dijadikan tempat tinggal). Izin yang sudah diberikan tidak boleh dipindahtangankan dalam bentuk apapun juga. 
PKL yang tidak berusaha di tempat yang ditunjuk/ditetapkan, diancam dengan sanksi pidana. Sanksi juga dikenakan bagi mereka yang berusaha di tempat yang diperbolehkan, tetapi tidak terdaftar dan tak berizin. Sementara itu, untuk tempat-tempat yang  sudah ditunjuk/ditetapkan, namun kemudian disalahgunakan (misalnya didirikan bangunan permanen), maka Gubernur dapat mencabut izin penggunaan tempat usaha tersebut. 
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik DKI Jakarta dari waktu ke waktu memperlihatkan bahwa lokasi yang paling banyak ditempati PKL adalah trotoar dan badan jalan. Tempat lain adalah halaman pasar/pertokoan, lahan parkir dan halte, jalur hijau dan taman kota, lahan kosong, dan halaman terminal/stasiun (bandingkan dengan Bromley, 2000: 1–28).  
Trotoar dan badan jalan memang lokasi favorit PKL. Lokasi ini dipilih karena mereka ingin sedekat mungkin "menjemput bola", yakni mencegat konsumen yang membutuhkan layanan PKL.
Oleh karena lokasi-lokasi tersebut tidak didesain sebagai tempat jual-beli, maka izin penggunaan tempat-tempat tersebut diberikan secara terbatas. Para pelaku usaha kecil sekelas PKL ini tentu menyadari hal tersebut. Itulah sebabnya, sistem usaha mereka dijalankan dengan mobilitas tinggi. Mereka, misalnya, menggunakan gerobak yang mudah berpindah atau tenda yang gampang dibongkar-pasang. 
Fakta menunjukkan bahwa lokasi yang ditunjuk/ditetapkan secara resmi oleh pemerintah daerah untuk para PKL ini jumlahnya sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah PKL yang ada dan terus membanjiri ibukota Jakarta. Akibatnya, sebagian besar PKL memilih berusaha di tempat-tempat yang tidak berizin. 
Sekalipun di lokasi tak berizin tersebut telah dipasang rambu-rambu larangan berdagang atau kerap dilakukan razia oleh aparat pemerintah daerah, tetap saja PKL hadir di sana. Tingkat kedisiplinan mereka terhadap hukum terkalahkan oleh sikap pragmatis mereka dalam memandang hukum. Rambu-rambu, pengumuman, razia penertiban, atau apapun larangan yang disampaikan, tidak ada artinya karena semua itu bertolak belakang dengan prinsip kemanfaatan langsung yang dikejar. Ulasan dari perspektif filosofis dapat dimulai dari prinsip kemanfaatan ini. 
Nilai kemanfaatan (utilitas) merupakan kata kunci tentang persepsi para PKL ini dalam melihat hukum. Nilai kemanfaatan adalah suatu nilai yang hadir secara konkret, kasuistik, dan partikular. Fenomena PKL akan selalu ada di lokasi-lokasi sepanjang di tempat itu mereka mendapatkan kemanfaatan demikian. Apa yang dipandang bermanfaat oleh PKL ini adalah apa yang dilihat dari sudut pandang masing-masing secara kasuistik dan untuk suatu tindakan itu sendiri saja. Nilai kemanfaatan itu direfleksikan secara sempit sebagai keuntungan pribadi atau sekelompok kecil di antara mereka. Mereka tidak pernah mengaitkan keuntungan itu dengan "kemanfaatan" secara umum, apalagi kemanfaatan untuk hal-hal yang bersifat estetis seperti kebersihan dan keindahan kota. Cara pandang demikian dapat disebut sebagai cara pandang yang partikular. 
Tentu saja tidak cukup adil untuk memandang fenomena PKL dan cara pandang partikular ini sebagai suatu "kesalahan" yang harus ditimpakan sepenuhnya kepada masyarakat PKL tersebut. Cukup banyak penelitian yang menunjukkan bahwa PKL merupakan komunitas yang swakarya, yaitu bekerja secara mandiri (wiraswasta), ulet, dan sangat efisien. Mereka juga orang-orang yang tidak sepenuhnya "buta hukum" atau "buta politik" (lihat misalnya Murray, 1994; dan Simanjuntak, 2007). 
Namun nilai keadilan sendiri dalam perspektif filosofis menempati ruang yang secara konvensional dipersepsikan berdimensi universal. Artinya, adil dan tidak adil tidak bisa dikaji dengan melihat sudut pandang PKL itu semata. Tindakan mengambil hak pejalan kaki untuk berjalan dengan aman dan nyaman di trotoar atau tindakan mengambil sebagian badan jalan sehingga menghambat arus laju kendaraan, boleh pula ditengarai sebagai perilaku tidak adil. Tindakan itu disebut "tidak adil" karena ada hak orang lain yang sudah terampas. Dengan demikian adil dan tidak adil adalah persoalan memperbandingkan antara hak seseorang dengan hak pihak-pihak lain secara interaktif. 
Kecenderungan menggunakan perspektif nilai keadilan seperti ini jelas bukan tipikal yang dapat dilekatkan kepada kelompok PKL. Wacana tentang keadilan adalah wacana dari kalangan yang justru tidak terlibat langsung dengan kehadiran PKL. Dalam bahasa filsafat, mereka dikatakan sebagai orang-orang yang melakukan distansi (mengambil jarak) dari persoalan ini. Proses distansi ini tidak dapat serta merta diartikan sebagai tindakan lari dari persoalan. Proses distansi justru diperlukan agar mereka dapat memperoleh gambaran (picture) secara lebih luas, sekalipun akhirnya menjadi tidak lagi detail. Sudut pandang seperti ini adalah sudut pandang dari para pembentuk undang-undang. Sebagai catatan, dalam tulisan ini istilah "undang-undang" diartikan secara material bukan secara formal. 
Dua sudut pandang yang telah dikemukakan, yakni perspektif PKL dan perspektif pembentuk undang-undang, sering kali berbenturan. Di satu sisi, pembentuk undang-undang ingin mengatur PKL sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Aturan itu harus berlaku umum, sehingga kepentingan umum pula yang dijadikan acuan utama, bukan sekadar kepentingan mikro kaum PKL saja. Untuk itu maka nilai keadilan lalu diadopsi ke dalam undang-undang yang dibuat. 
Jadi setiap undang-undang sudah harus diasumsikan adil begitu undang-undang itu diberlakukan dan masuk dalam konstelasi norma hukum positif. Ajaran demikian merupakan ciri khas dari Positivisme Hukum. 
Idealnya, studi tentang hukum harus dilakukan dalam rangka mendorong tumbuhnya dominasi kesadaran hukum di atas perasaan hukum. Konsep ini sesungguhnya bukan barang baru karena telah disampaikan jauh-jauh hari oleh John Austin dan Jeremy Bentham sebagai pengemuka Teori Kehendak (The Will Theory). Menurut mereka, pada saat pembentuk undang-undang memformulasikan suatu peraturan, ia harus memerhatikan kehendak-kehendak semua komponen, mulai dari penguasa pada saat itu (current sovereign), penguasa sebelumnya (earlier sovereign), penguasa di tingkat bawah (subordinate powerholders), dan pemangku kepentingan lainnya (any other group/individuals). Di sini terlihat bahwa kehendak individu tetap diberi tempat untuk diakomodasi, bahkan tidak boleh ditinggalkan, tetapi berada pada tingkat terbawah. Kehendak-kehendak itu semua menyatu dan mencerminkan satu kesatuan kehendak (unity of wills). Adanya kesatuan kehendak inilah yang menjadi syarat untuk tercapainya kesatuan dalam penegakan (unity of enforcement) (Harris, 1982:25–33; juga Shidarta, 2005:13–15). 
Sebagaimana layaknya sebuah asumsi, apa yang dinyatakan oleh Positivisme Hukum tersebut ada kemungkinannya meleset. Kesatuan penerapan yang diasumsikan mengikuti kesatuan kehendak (unity of enforcement entails unity of will) dalam kenyataannya sering tidak berlangsung semulus yang dibayangkan.   Tugas menyatukan kehendak (unity of will) sebenarnya adalah tugas dalam tataran filosofis. Repotnya, dalam sistem ketatanegaraan modern, tugas ini tidak lagi dijalankan oleh para filsuf seperti disarankan oleh filsuf Yunani Kuno, Plato. Tugas mengakomodasi kepentingan dan menyatukannya dalam suatu rumusan filosofis, telah diambil alih oleh para politikus. Mereka sebagian adalah wakil- wakil rakyat yang duduk di parlemen, baik di tingkat pusat maupun daerah. 
Kaum politikus pada dasarnya adalah kaum penyuara kepentingan. Dalam praktik, artikulasi kepentingan yang mereka suarakan sangat bergantung pada lobi-lobi politik. Makin besar akses suatu kelompok kepentingan terhadap para politikus ini, akan makin besar kemungkinan kepentingan itu terakomodasi ke dalam norma hukum positif yang dihasilkan. Dalam posisi seperti inilah lalu terjadi "bias keadilan" di dalam undang-undang yang dihasilkan. 
Titik persoalan mulai terlihat di sini. Undang-undang yang diasumsikan "adil" itu lalu harus diterapkan dengan sepenuh hati oleh aparat penegak hukum di lapangan (untiy of enforcement). Untuk menegakkan aturan ini lalu diadakan operasi penertiban. Intensitas penertiban tadi bervariasi, mulai dari upaya preventif sampai tindakan keras dan frontal. 
Dari kaca mata aparat di lapangan, penertiban ini merupakan cerminan tanggung jawab mereka di hadapan hukum. Menurut mereka, aparat penegak hukum harus menerapkan hukum. Hukum di sini adalah undang-undang. Jika undang-undang tidak dijalankan, tidak akan ada kepastian hukum.  

Alhasil, terlihat ada tiga nilai yang saling bersitegang, yang masing-masing diperjuangkan oleh pembentuk undang-undang, aparat penegak hukum, dan PKL. Nilai-nilai itu adalah nilai keadilan (dipersepsikan oleh pembentuk undang-undang), nilai kepastian hukum (dipersepsikan oleh aparat penegak hukum), dan nilai kemanfaatan (dipersepsikan oleh PKL). Ketiga nilai ini dapat disebut sebagai tiga serangkai tujuan hukum (Radbruch, 1973:170–179). Dengan demikian, dalam perspektif filosofis, keberadaan PKL sesungguhnya dapat dilihat dari tiga sudut pandang (dimensi aksiologis) yang masing-masing mewakili tiga kelompok kepentingan seperti yang telah disebutkan. Efektivitas upaya pembinaan dan pemberian izin terhadap PKL di kota-kota besar seperti Jakarta selayaknya berangkat dari kerangka berpikir ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar