Rabu, 14 Desember 2016

FILSAFAT BAHASA

FILSAFAT BAHASA

Pada zaman Yunani kuno, bahasa sedikit banyak menjadi salah satu objek kajian oleh para filsuf. Kaelan (1998: 259) menjelaskan bahwa pada masa itu beberapa filsuf mengembangkan pemikiran dan mengemukakan gagasan mereka tentang bahasa. Sebut saja misalnya Herakleitos yang memberikan gagasannya tentang ‘kata’ (logos). Ia berpendapat bahwa logos bukan merupakan gejala antropologis belaka namun mengandung kebenaran kosmis yang universal. Plato bahkan lebih luas menggambarkan pemikirannya tentang bahasa. Ia meyakini bahwa bahasa adalah ekspresi pikiran yang dimediasi oleh apa yang ia sebut dengan ‘onoma’ dan ‘rhemata’. ‘Onomata’ (jamaknya ‘onoma’) adalah subjek dalam kaitan dengan subjek logis, sementara ‘rhemata’ (jamaknya ‘rhema’) merupakan verba dalam tata bahasa dan predikat dalam hubungannya dengan makna logis. Ini menunjukkan bahwa benih-benih filsafat bahasa telah mulai dikembangkan pada masa kejayaan Yunani itu. Filsafat bahasa selalu dipahami pada dua perspektif berbeda, yaitu, pertama, filsafat yang menggunakan bahasa sebagai alat analisis konsep-konsep, dan kedua, filsafat yang mengkaji tentang bahasa sebagai materia yang dianalisis. Kedua pengertian ini berkembang sedemikian rupa menurut sudut pandang filsuf yang berbeda. Secara sederhana, Muntasyir (1988:45-47) memberikan definisi filsafat bahasa yaitu ‘suatu penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa yang dipergunakan dalam filsafat, sehingga dapat dibedakan pernyataan filsafat yang mengandung makna (meaningful) dengan yang tidak bermakna (meaningless). 
Definisi ini menunjukkan bahwa bahasa menjadi materia yang dikaji untuk menghasilkan makna dari pernyataan- pernyataan filsafati.  Akan tetapi, ia kemudian menyajikan pandangan-pandangan lainnya tentang filsafat bahasa yang perlu menjadi catatan. Mengutip Verhaar, ia menyebut bahwa filsafat bahasa itu terbagi ke dalam dua sudut pandang yaitu, (1) filsafat mengenai bahasa, yang berarti bahwa terdapat sebuah sistem untuk melakukan pendekatan terhadap bahasa sebagai sebuah objek kajian; dan (2) filsafat berdasarkan bahasa, yaitu seorang filsuf ingin berfilsafat dan mencari sebuah sumber yang dapat dijadikan titik pangkal yang menyediakan bahan-bahan yang diperlukannya. Berdasarkan pengelaborasian selanjutnya, Verhaar cenderung memandang filsafat bahasa dengan pengertian (2), dan inilah yang ia samakan dengan mazhab analitika bahasa. Katz (1966:4) menyimpulkan bahwa premis dasar filosofi bahasa adalah bahwa terdapat hubungan erat antara bentuk dan isi bahasa dengan bentuk dan isi konseptualisasi. Dengan demikian, tugas filosofi bahasa adalah mencari hubungan ini dan membuat inferensi apapun tentang struktur ilmu pengetahuan konseptual yang dapat dibuat berdasarkan apa yang diketahui dari struktur bahasa. Kutipan ini menunjukkan bahwa bahasa yang dipergunakan harus memiliki hubungan dengan konseptualisasinya, yang berarti bahwa bila hubungan ini tidak dapat atau sulit untuk didapati maka akan terjadi kekacauan. Wicoyo (1997: 4-18) mengatakan bahwa filsafat analitik adalah aliran yang berupaya untuk memperbaiki kekacauan penggunaan bahasa oleh para filsulf terdahulu ketika berfilsafat. Secara umum terdapat tiga aliran utama dalam filsafat analitik ini, yaitu: 1. Atomisme Logis (Logical Atomism). Aliran ini dimulai oleh Bertrand Russel dan diakhiri oleh Wittgenstien. Pandangan ini pada dasarnya melihat bahasa sebagai sesuatu yang dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomik atau proposisi- proposisi elementer melalui teknik analisa logis atau analisa bahasa. Stiap proposisi atomik atau proposisi elementer dapat mengungkapkan suatu fakta, yaitu fakta atomis yang merupakan bagian terkecil dari realitas. 2. Positivisme Logis atau Empirisme Logis (Neo Positivism). Pandangan ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Wittgenstein. Salah satu pionirnya, Alfred Jules Ayer mengusulkan sebuah istilah ‘prinsip verifikasi’. Prinsip ini bertujuan untuk menentukan makna suatu ucapan bukan kebenarannya, karena sebuah ucapan bisa bermakna benar dan bisa pula salah. Ia berpendapat bahwa suatu ucapan dapat dikatakan bermakna bila ucapan itu merupakan observation-statement, yang berarti bahwa pernyataan itu menyangkut realitas inderawi atau suatu ucapan yang didasarkan pada observasi atau sekurang-kurangnya mempunyai hubungan dengan observasi atau menunjuk ke hal-hal yang empiris yang membuat ucapan itu benar atau salah. 3. Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy). Dalam pandangan ini, Wittgenstein dianggap sebagai perintisnya. Di sini ia menyadari bahwa bahasa logika ternyata mengandung kelemahan, yaitu tidak mampu menyentuh seluruh realitas dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar itu, ia kemudian memutar haluan untuk memberikan penekanan pada keanekaragaman bahasa biasa dan cara penggunaannya. 
Ketika aliran ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Wittgenstein, dimana ketiganya memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap penganalisisan bahasa atau pernyataan filsafati yang dihasilkan.  Namun, perkembangan ini kemudian dipertanyakan oleh Alston, dimana ia melihat filsafat bahasa sehari-hari memiliki berbagai kelemahan. Seperti dikutip Kaelan (1998: 8) bahasa sehari-hari mengandung lima kelemahan, yaitu vagueness (kesamaran); inexplicitness (tidak eksplisit) ambiguity (ketaksaan), context-dependence (tergantung pada konteks), dan misleadingness (menyesatkan). Terlepas dari kelemahan-kelamahan ini, bahasa tetap menjadi sesuatu yang spesial bagi manusia karena berkontribusi sangat besar terhadap perkembangan pikiran manusia sehingga dapat memahami realitas akan berbagai macam objek. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar