FILSAFAT BAHASA
Pada
zaman Yunani kuno, bahasa sedikit banyak menjadi salah satu objek kajian oleh
para filsuf. Kaelan (1998: 259) menjelaskan bahwa pada masa itu beberapa filsuf
mengembangkan pemikiran dan mengemukakan gagasan mereka tentang bahasa. Sebut
saja misalnya Herakleitos yang memberikan gagasannya tentang ‘kata’ (logos). Ia
berpendapat bahwa logos bukan merupakan gejala antropologis belaka namun
mengandung kebenaran kosmis yang universal. Plato bahkan lebih luas
menggambarkan pemikirannya tentang bahasa. Ia meyakini bahwa bahasa adalah
ekspresi pikiran yang dimediasi oleh apa yang ia sebut dengan ‘onoma’ dan
‘rhemata’. ‘Onomata’ (jamaknya ‘onoma’) adalah subjek dalam kaitan dengan
subjek logis, sementara ‘rhemata’ (jamaknya ‘rhema’) merupakan verba dalam tata
bahasa dan predikat dalam hubungannya dengan makna logis. Ini menunjukkan bahwa
benih-benih filsafat bahasa telah mulai dikembangkan pada masa kejayaan Yunani
itu. Filsafat bahasa selalu dipahami pada dua perspektif berbeda, yaitu,
pertama, filsafat yang menggunakan bahasa sebagai alat analisis konsep-konsep,
dan kedua, filsafat yang mengkaji tentang bahasa sebagai materia yang
dianalisis. Kedua pengertian ini berkembang sedemikian rupa menurut sudut
pandang filsuf yang berbeda. Secara sederhana, Muntasyir (1988:45-47)
memberikan definisi filsafat bahasa yaitu ‘suatu penyelidikan secara mendalam
terhadap bahasa yang dipergunakan dalam filsafat, sehingga dapat dibedakan
pernyataan filsafat yang mengandung makna (meaningful) dengan yang tidak
bermakna (meaningless).
Definisi ini menunjukkan bahwa bahasa menjadi materia
yang dikaji untuk menghasilkan makna dari pernyataan- pernyataan
filsafati. Akan tetapi, ia kemudian
menyajikan pandangan-pandangan lainnya tentang filsafat bahasa yang perlu
menjadi catatan. Mengutip Verhaar, ia menyebut bahwa filsafat bahasa itu
terbagi ke dalam dua sudut pandang yaitu, (1) filsafat mengenai bahasa, yang
berarti bahwa terdapat sebuah sistem untuk melakukan pendekatan terhadap bahasa
sebagai sebuah objek kajian; dan (2) filsafat berdasarkan bahasa, yaitu seorang
filsuf ingin berfilsafat dan mencari sebuah sumber yang dapat dijadikan titik
pangkal yang menyediakan bahan-bahan yang diperlukannya. Berdasarkan
pengelaborasian selanjutnya, Verhaar cenderung memandang filsafat bahasa dengan
pengertian (2), dan inilah yang ia samakan dengan mazhab analitika bahasa. Katz
(1966:4) menyimpulkan bahwa premis dasar filosofi bahasa adalah bahwa terdapat
hubungan erat antara bentuk dan isi bahasa dengan bentuk dan isi
konseptualisasi. Dengan demikian, tugas filosofi bahasa adalah mencari hubungan
ini dan membuat inferensi apapun tentang struktur ilmu pengetahuan konseptual
yang dapat dibuat berdasarkan apa yang diketahui dari struktur bahasa. Kutipan
ini menunjukkan bahwa bahasa yang dipergunakan harus memiliki hubungan dengan
konseptualisasinya, yang berarti bahwa bila hubungan ini tidak dapat atau sulit
untuk didapati maka akan terjadi kekacauan. Wicoyo (1997: 4-18) mengatakan
bahwa filsafat analitik adalah aliran yang berupaya untuk memperbaiki kekacauan
penggunaan bahasa oleh para filsulf terdahulu ketika berfilsafat. Secara umum
terdapat tiga aliran utama dalam filsafat analitik ini, yaitu: 1. Atomisme
Logis (Logical Atomism). Aliran ini dimulai oleh Bertrand Russel dan diakhiri
oleh Wittgenstien. Pandangan ini pada dasarnya melihat bahasa sebagai sesuatu
yang dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomik atau proposisi- proposisi
elementer melalui teknik analisa logis atau analisa bahasa. Stiap proposisi
atomik atau proposisi elementer dapat mengungkapkan suatu fakta, yaitu fakta
atomis yang merupakan bagian terkecil dari realitas. 2. Positivisme Logis atau
Empirisme Logis (Neo Positivism). Pandangan ini sebenarnya banyak dipengaruhi
oleh Wittgenstein. Salah satu pionirnya, Alfred Jules Ayer mengusulkan sebuah
istilah ‘prinsip verifikasi’. Prinsip ini bertujuan untuk menentukan makna
suatu ucapan bukan kebenarannya, karena sebuah ucapan bisa bermakna benar dan
bisa pula salah. Ia berpendapat bahwa suatu ucapan dapat dikatakan bermakna
bila ucapan itu merupakan observation-statement, yang berarti bahwa pernyataan itu
menyangkut realitas inderawi atau suatu ucapan yang didasarkan pada observasi
atau sekurang-kurangnya mempunyai hubungan dengan observasi atau menunjuk ke
hal-hal yang empiris yang membuat ucapan itu benar atau salah. 3. Filsafat
Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosophy). Dalam pandangan ini,
Wittgenstein dianggap sebagai perintisnya. Di sini ia menyadari bahwa bahasa
logika ternyata mengandung kelemahan, yaitu tidak mampu menyentuh seluruh
realitas dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar itu, ia kemudian memutar
haluan untuk memberikan penekanan pada keanekaragaman bahasa biasa dan cara
penggunaannya.
Ketika
aliran ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Wittgenstein, dimana
ketiganya memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap penganalisisan
bahasa atau pernyataan filsafati yang dihasilkan. Namun, perkembangan ini kemudian
dipertanyakan oleh Alston, dimana ia melihat filsafat bahasa sehari-hari
memiliki berbagai kelemahan. Seperti dikutip Kaelan (1998: 8) bahasa
sehari-hari mengandung lima kelemahan, yaitu vagueness (kesamaran);
inexplicitness (tidak eksplisit) ambiguity (ketaksaan), context-dependence
(tergantung pada konteks), dan misleadingness (menyesatkan). Terlepas dari
kelemahan-kelamahan ini, bahasa tetap menjadi sesuatu yang spesial bagi manusia
karena berkontribusi sangat besar terhadap perkembangan pikiran manusia
sehingga dapat memahami realitas akan berbagai macam objek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar