Rabu, 14 Desember 2016

PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS AKTIVITAS INSANI

PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS AKTIVITAS INSANI

Lange (2006) menyatakan bahwa banyak negara mempunyai tiga tujuan utama dalam pendidikan matematika dalam kerangka agar warga negaranya menjadi insan yang melek (literasi) matematika, yaitu:  1. Menyiapkan siswa untuk bermasyarakat; 2. Menyiapkan siswa untuk melanjutkan sekolah dan bekerja; dan 3. Memperlihatkan kepada siswa tentang indahnya disiplin (the beauty of discipline). 
Pertanyaannya kemudian adalah pembelajaran yang bagaimana yang dapat meningkatkan literasi matematika sehingga siswa menjadi insan yang berdaya guna bagi masyarakatnya? Dalam bukunya yang berjudul Cognition, Matlin (2003) menekankan agar konsep-konsep (matematika) bermanfaat dan tersimpan lama dalam Long-Term Memory siswa, tidak sekedar tersimpan dalam short-term memory, maka pembelajaran yang dilakukan hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip berikut. 1. Pelajaran harus bermakna (meaningfull) bagi siswa.  2. Siswa didorong untuk mengembangkan apa yang dipelajari  secara kaya. 3. Siswa melakukan encoding ketika mempelajari matematika dalam bentuk elaborasi.  4. Siswa mengaitkan materi pelajaran dengan pengalaman diri sebagai bentuk dari self-reference effect. Pembelajaran bermakna (meaningfull) merupakan kata kunci dalam memberdayakan siswa. Gagasan pembelajaran bermakna pertamakali dikemukakan oleh  David Ausubel (Budiningsing, 2005; Ruseffendi, 2006). Ems dkk (2005) memberi nama belajar bermakna dengan Natural Learning. Ciri-ciri belajar natural menurutnya adalah: (1) Belajar akan menjadi natural bila bermakna, (2) Siswa mempelajari bagaimana menerapkan apa yang dipelajari bagi kehidupan profesionalnya, dan (3) Siswa mengembangkan kualitas diri untuk mampu menyelesaikan masalah realitas yang kompleks. 
Kembali ke pengertian bahwa siswa yang berdaya guna harus mempunyai kemampuan literasi matematika. Lange (2006) menyebutkan bahwa kata literasi terkait dengan masalah “nyata” yang berarti bahwa masalah tersebut bukan “murni” matematika. Pada dasarnya, siswa mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah nyata dengan menggunakan apa yang dipelajarinya di sekolah dan berdasarkan pengalaman di luar sekolah. Proses yang mendasari hal itu adalah proses matematisasi. Gagasan proses matematisasi dari Lange (2006) sejalan dengan proses penyelesaian masalah dari Polya. Ciri-ciri proses matematisasi tersebut adalah          (1) bermula dari masalah realitas, (2) pengidentifikasian konsep matematika yang relevan dengan masalah tersebut, (3) secara bertahap membawa masalah realitas ke dalam dunia matematika, (4)   menyelesaikan masalah matematika yang diperolehnya, dan (5) memberikan makna penyelesaian terhadap masalah semula.
Problem kontekstual yang diberikan kepada siswa adalah mereka diminta menentukan banyaknya kubus maksimal yang dapat termuat dalam kotak makanan. Para siswa membawa berbagai ukuran kardus tempat makanan seperti tempat snack, tempat roti, dan tempat kue.  Sedangkan kubus-kubus disediakan  namun dengan jumlah yang dibatasi yakni paling banyak hanya cukup untuk menutupi alas. Dalam menyelesaikan problem, siswa bekerja secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri dari 3-4 siswa. Dari hasil observasi, para siswa ternyata menyelesaikan masalah tersebut melalui tahapan-tahapan dalam teori Bruner yakni melalui aktivitas enaktif , ikonik, dan kemudian simbolik (Ruseffendi, 2006: h. 151).
Dari sudut pandang RME (Realistic Mathematics Education), Gambar 3 di atas menggambarkan aktivitas matematisasi dimana melalui materi non-matematis para siswa menggunakan bahasa simbol yang informal kemudian membawanya menjadi lebih matematis (Suryanto, 2000: h. 111).  Secara lebih khusus Gambar 3. a dan b merupakan aktivitas matematisasi horizontal dimana siswa masih menggunakan alat peraga dan bahasa informal matematika sedang pada Gambar 3.b siswa menunjukkan sudah berada dalam matematisasi vertikal dimana mereka telah bekerja dalam simbol-simbol matematika dalam menyelesaikan masalah (Armanto, 2003: p. 36; Hadi, 2005: h. 21-22).

Permasalahan di atas dikerjakan siswa di dalam kelas secara kolaboratif dalam kelompok kecil 3-5 orang tiap kelompok. Secara teoritis, melalui kegiatan kolaborasi memungkinkan apa yang dipelajari siswa melebihi batas yang dituntut guru dan terjadinya loncotan belajar (Sato, 2007).  Dalam contoh pembelajaran di atas, loncatan belajar terjadi dalam bentuk siswa mulai menggagas rumus menghitung volum kubus. Loncatan belajar ini merupakan scaffolding yang efektif ketika nanti siswa belajar volume. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar