Sabtu, 31 Desember 2016

PERBEDAAN ANTARA FILSAFAT MANUSIA DENGAN ILMU-ILMU TENTANG MANUSIA



PERBEDAAN ANTARA FILSAFAT MANUSIA DENGAN ILMU-ILMU TENTANG MANUSIA

Sebelum pada pembahasan tentang filsafat manusia, alangkah baiknya kita singgung terlebih dahulu mengenai daripada perbedaan antara filsafat dan ilmu-ilmu tentang manusia. Ilmu-ilmu tentang manusia jelas bersifat positivistic, dalam artian ilmu yang tetap pada satu pandangan, dengan model metodologi ilmu-ilmu alam fisik.  Karena sesuai dengan rujukan eksperimental dan/atau observasional. Suatu ilmu yang membatasi diri pada penyelidikan terhadap gejala empiris dan penggunaan metode yang bersifat observasional/eksperimental, maka bisa dipastikan mempunyai konsekuensi-konsekuensi teoritis yang positif dan bersifat negative sekaligus. Demikian pula halnya dengan ilmu-ilmu tentang manusia. Sisi ‘negatif’ dari ilmu-ilmu tentang manusia, pertama-tama tampak dari ruang lingkupnya yang serba terbatas. Ilmu-ilmu tentang manusia hanya bersangkut paut dengan aspek-aspek atau dimensi-dimensi tertentu dari manusia. Yakni sejauh yang tampak secara empiris dan dapat diselidiki secara observasional dan/atau eksperimental. Aspek-aspek atau dimensi-dimensi diluar pengelaman indrawi, yang tidak dapat diobservasi atau eksperimentasi tidak dapat tempat di dalam ilmu. Oleh sebab itu ilmu-ilmu tentang manusia ini tidak dapat menjawab pertanyaan yang meskipun sifatnya sederhana dan mendasar, seperti : apakah manusia itu? Apakah hakikat manusia itu bersifat material atau spiritual? Dan lain sebagainya.
Maka cara kerja ilmu pun (terpaksa) menjadi pragmentaris.  Keterbatasan metode observasi dan eksperimentasi tidak memungkinkan ilmu-ilmu tentang manusia untuk melihat gejala manusia secara utuh dan menyeluruh. Contohnya ilmu psikologi, ilmu tersebut hanya menekankan pada aspek psikis dan fisiologis manusia sebagai suatu organisme.  Dan enggan bersentuhan dengan pengalaman spiritual dan eksistensinya. Ilmu laianya seperti antropologi dan sosiologi lebih memfokuskan pada gejala budaya dan pranata social, dan enggan bersentuhan dengan pengalaman dan gejala individu.
Maka berbeda dengan filsafat manusia terhadap ilmu-ilmu tentang manusia ini, filsafat manusia ini persis seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, yakni dengan menggunakan metode sintesis dan reflektif. Dan metode sisntesis dan reflektif ini mempunyai ciri-ciri ekstensif, intensif, dan kritis. Penggunaan metode sintesis dalam filsafat manusia, yang mensistensiskan pengalaman dan pengetahuan kedalam satu visi.  Dengan metode sintesis maka tercapailah visi yang menyeluruh dan rasional tentang hakikat manausia. Oleh sebab itu ketimbang hanya berkisar tentang salah satu aspek atau aspek-aspek tertentu saja dari manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok social, filsafat manusia justru berkenaan dengan totalitas dan keragaman aspek-aspek yang terdapat pada manusia secara universal.
Dan penggunnaan metode refleksi, dalam filsafat manusia tampak dari pemikiran-pemikiran filsafati besar seperti yang dikembangkan misalnnya oleh Descartes, Kant, Edmund Husserl, Karl Jasper dan lain-Nya. Refleksi yang dimaksudkan disini menunjuk pada dua hal : pertama, pada pertanyan tentang esensi sesuatu hal. (misalnya : apakah esensi manusia itu, apakah esensi keindahan itu, apakah esensi alam semesta itu). Dan kedua, pada proses pemahaman diri (self-understanding) berdasarkan pada totalitas gejala dan kejadian manusia yang sedang direnungkannya. Filsup yang sedang berfilsafat pada kenyataannya bukan hanya berusaha memahami esensi manusia diluar dirinya, tetapi juga hendak memahami dirinya sendiri. Maka ada kemungkinan dalam filsafat manusia terdapat keterlibatan pribadi dan pengalaan subjektif  dari beberapa filsuf tertentu pada setiap apa yang difikirkannya.
Secara umum bisa dikatakan, bahwa tidak mustahil terdapat keterlibatan pribadi dan pengalaman subjektif dari beberapa filsuf tertentu, pada setiap pemikiran filsafati mereka. Pandangan negative dan pesimistik tentang manusia dari Schopenhaur, misalnya atau sebaliknya, pemikiran optimistic dan religius tentang manusia dari Bergson dan Thomas Aquinas, yang bisa dijadikan contoh kasus tersebut. Kemungkinan keterlibatan pengalaman pribadi dan pengalaman “subjektif”, seperti yang terdapat dalam filsafat manusia, paling tidak secara ideal, sedapat mungkin dihindarkan dari ilmu-ilmu tentang manusia. Ilmu harus bersifat ‘netral’ dan ‘bebas nilai’. Disini tugas seorang ilmuan adalah mengamati, mengukur, menjelaskan dan memprediksi dalam bentuk bahasa ilmiah. Kemungkinan untuk terlibat atau tidak netral itu, relative sangat kecil karena nilai-nilai yang sifatnya subjektif dan manusiawi, tidak dapat dirumuskan secara statistic dalam bentuk angka atau grafik.
Namun ada yang khas dengan filsafat manusia, dan tidak terdapat pada ilmu-ilmu tentang manusia. Kalau ilmu adalah netral dan bebas nilai. Maka bisa dikatakan juga bahwa ilmu berkenaan hanya dengan das Sein (kenyataan sebagaimana adanya). Nilai, dari manapun asalnya dan apapun bentuknya, diupayakan untuk tidak dilibatkan dalam kegiatan keilmuan. Nilai dipandang sesuatu yang subjektif dan tidak bisa diukur. Sehingga keberadaanya dianggap tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sebaliknya di dalam filsafat manusia, bukan hanya das Sein yang dipertimbangkan, tetapi juga das Sollen (kenyataan yang seharusnya).  Ini berarti bahwa nilai yang selain dipandang subjektif tetapi juga ideal, mewarnai kegiatan filsafat manusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar