HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN BAHASA
Filsafat
secara umum memiliki tiga cabang, yaitu metafisika, epistemologi, dan logika.
Metafisika secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘di luar fisik’, yang
berati bahwa sesuatu yang berada di luar apa yang bisa dilihat dan dirasakan
secara empiris. Metafisika muncul dari tulisan Aristoteles yang sampai saat ini
terus dianggap sebagai Metafisika-nya Aristoteles. (Popkin & Stroll, 1956:
70). Kemudian, epistemologi, menurut sumber yang sama, merupakan teori tentang
ilmu pengetahuan, yaitu teori yang menaungi alat yang dipergunakan untuk
memperoleh ilmu pengetahuan, batas jarak ilmu pengetahuan kita, dan
kriteria-kriteria yang kita pergunakan untuk menilai salah atau benarnya ilmu
pengetahuan kita. Yang terakhir logika, yaitu cabang filosofi yang
merefleksikan hakikat cara berfikir sehingga mampu memberikan penalaran yang
tepat, membedakan argumen yang baik dan yang buruk, dan metode-metode untuk
mendeteksi kesalahan dalam penalaran.
Berdasarkan definisi-definisi singkat ini, dapat dilihat hubungan antara
filsafat dengan bahasa. Berikut ini adalah beberapa pandangan tentang
hubungan-hubungan itu. Dalam kaitannya
dengan metafisika, bahasa memiliki peranan yang sangat krusial karena berbagai
macam konsep dan fakta untuk dapat menjadi argumen metafisis harus menggunakan
bahasa yang sesuai sebagai medianya. White dalam Kaelan (1998, 11) memberikan
contoh yaitu pertanyaan fundamental Plato tentang keadilan, kesucian, ruang,
waktu, kontradiksi, kebaikan dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan
tentang hal-hal itu adalah upaya secara analitik melalui bahasa untuk mebuat
pertanyaan- pertanyaan itu eksplisit.
Secara lebih komprehensif, Russell sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa
terdapat kesepadanan (isomorfi) antara unsur bahasa dan unsur kenyataan.
Kesimpulannya ini kemudian dipertegas oleh Wittgenstein dengan pernyataannya
‘sebuah proposisi itu adalah gambaran realitas (kenyataan). Sebuah proposisi
adalah sebuah model dari realitas yang kita bayangkan. (Mustansyir, 1988:
70-71) Sehubungan dengan epistemologi, menurut Kaelan, terdapat dua masalah
pokok yang sangat ditentukan oleh formulasi bahasa yang digunakan dalam
mengungkapkan pengetahuan manusia yaitu sumber pengetahuan manusia yang
pengetahuannya meliputi pengetahuan apriori dan aposteriori, dan problem
kebenaran pengetahuan manusia. Apriori berkaitan dengan pengetahuan tentang
sesuatu itu adalah benar demikian tanpa perlu didasarkan pada pengalaman
empiris. Dengan kata lain, pengetahuan yang diperoleh adalah berdasarkan dugaan
saja. Sebagai contoh, 5 x 5 = 25. Tanpa perlu mendapatkan pengalaman inderawi,
pernyataan itu benar adanya dan tidak dapat disalahkan. Ini berarti pernyataan
itu benar adanya karena arti pernyataan itu terkandung di dalam arti pernyataan
itu sendiri. Penolakan terhadap arti itu hanya bisa
dilakukan
bila kita mengubah satu atau lebih artian terminologi di dalam pernyataan itu,
misalnya kita mengubah ‘x’ menjadi ‘+’ atau ‘-‘. Karena itu bahasa memiliki
peranan kunci dalam penerimaan kebenaran arti pernyataan semacam itu. Epistemologi juga pada sisi lain berkaitan
dengan teori kebenaran, dimana di dalam epistemologi ini terdapat tiga jenis
teori kebenaran. Mengutip Suriasumantri, Kaelan (1998: 14) menyebutkan
ketiganya sebagai: 1. Teori kebenaran koherensi, yaitu bahwa sebuah pernyataan
dianggap benar apabila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebenarnya. Sebagai contoh, pernyataan ‘Hewan menyusui
disebut mamalia’. Pernyataan ‘Sapi adalah hewan mamalia’ adalah benar karena
sapi menyusui. 2. Teori kebenaran
korespondensi, yaitu bahwa sebuah pernyataan dianggap benar bilamana materi
pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu berhubungan dengan objek atau
fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut. Sebagai contoh, pernyataan ‘Kota
Medan terdapat di Sumatera Utara.’ adalah benar karena terdapat hubungan antara
ide dengan fakta dimana hubungan itu terjadi melalui bahasa. 3. Teori kebenaran
pragmatis, yaitu sebuah pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Ini berarti suatu pernyataan
akan dianggap benar apabila memberikan manfaat praktis kepada manusia. Dengan
demikian, pernyataan itu dianggap benar berdasarkan konteks penggunaannya. Yang terakhir adalah hubungan antara logika
dengan bahasa. Yang menjadi pokok hubungan keduanya adalah fakta bahwa dalam
proses berpikir, manusia tidak dapat melepaskan diri dari bahasa untuk memahami
dunia luar, baik secara objektif maupun imajinatif.
Proses
berpikir dalam konteks ini tentu saja bernalar dengan bersandar pada
hukum-hukum, yang dengannya kemudian dapat dinyatakan apakah sebuah kesimpulan
itu benar atau salah. Contoh: - Budi seorang pekerja keras. - Budi mendapatkan
penghargaan. - Oleh karena itu, Budi seorang pekerja keras yang mendapatkan
penghargaan. - Seseorang pekerja keras.
- Seseorang mendapatkan penghargaan.
- Oleh karena itu, seseorang pekerja
kerja yang mendapatkan penghargaan. Pada contoh pertama, kesimpulan yang
diambil adalah benar dengan didasarkan pada premis-premis yang ada sebelumnya,
sementara pada contoh kedua tentu saja kesimpulannya tidak benar karena
‘seseorang’ di sana tidak tidak dapat dipastikan mengacu kepada orang yang
sama. Melihat kedua contoh ini, dapat disimpulkan betapa pentingnya bahasa
dalam pernyataan logika sehingga sebuah kesimpulan dapat dinilai secara
langsung kebenarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar