Rabu, 14 Desember 2016

HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN BAHASA

HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN BAHASA

Filsafat secara umum memiliki tiga cabang, yaitu metafisika, epistemologi, dan logika. Metafisika secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘di luar fisik’, yang berati bahwa sesuatu yang berada di luar apa yang bisa dilihat dan dirasakan secara empiris. Metafisika muncul dari tulisan Aristoteles yang sampai saat ini terus dianggap sebagai Metafisika-nya Aristoteles. (Popkin & Stroll, 1956: 70). Kemudian, epistemologi, menurut sumber yang sama, merupakan teori tentang ilmu pengetahuan, yaitu teori yang menaungi alat yang dipergunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan, batas jarak ilmu pengetahuan kita, dan kriteria-kriteria yang kita pergunakan untuk menilai salah atau benarnya ilmu pengetahuan kita. Yang terakhir logika, yaitu cabang filosofi yang merefleksikan hakikat cara berfikir sehingga mampu memberikan penalaran yang tepat, membedakan argumen yang baik dan yang buruk, dan metode-metode untuk mendeteksi kesalahan dalam penalaran.  Berdasarkan definisi-definisi singkat ini, dapat dilihat hubungan antara filsafat dengan bahasa. Berikut ini adalah beberapa pandangan tentang hubungan-hubungan itu.  Dalam kaitannya dengan metafisika, bahasa memiliki peranan yang sangat krusial karena berbagai macam konsep dan fakta untuk dapat menjadi argumen metafisis harus menggunakan bahasa yang sesuai sebagai medianya. White dalam Kaelan (1998, 11) memberikan contoh yaitu pertanyaan fundamental Plato tentang keadilan, kesucian, ruang, waktu, kontradiksi, kebaikan dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal itu adalah upaya secara analitik melalui bahasa untuk mebuat pertanyaan- pertanyaan itu eksplisit.  Secara lebih komprehensif, Russell sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa terdapat kesepadanan (isomorfi) antara unsur bahasa dan unsur kenyataan. Kesimpulannya ini kemudian dipertegas oleh Wittgenstein dengan pernyataannya ‘sebuah proposisi itu adalah gambaran realitas (kenyataan). Sebuah proposisi adalah sebuah model dari realitas yang kita bayangkan. (Mustansyir, 1988: 70-71) Sehubungan dengan epistemologi, menurut Kaelan, terdapat dua masalah pokok yang sangat ditentukan oleh formulasi bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan pengetahuan manusia yaitu sumber pengetahuan manusia yang pengetahuannya meliputi pengetahuan apriori dan aposteriori, dan problem kebenaran pengetahuan manusia. Apriori berkaitan dengan pengetahuan tentang sesuatu itu adalah benar demikian tanpa perlu didasarkan pada pengalaman empiris. Dengan kata lain, pengetahuan yang diperoleh adalah berdasarkan dugaan saja. Sebagai contoh, 5 x 5 = 25. Tanpa perlu mendapatkan pengalaman inderawi, pernyataan itu benar adanya dan tidak dapat disalahkan. Ini berarti pernyataan itu benar adanya karena arti pernyataan itu terkandung di dalam arti pernyataan itu sendiri. Penolakan terhadap arti itu hanya bisa
dilakukan bila kita mengubah satu atau lebih artian terminologi di dalam pernyataan itu, misalnya kita mengubah ‘x’ menjadi ‘+’ atau ‘-‘. Karena itu bahasa memiliki peranan kunci dalam penerimaan kebenaran arti pernyataan semacam itu.  Epistemologi juga pada sisi lain berkaitan dengan teori kebenaran, dimana di dalam epistemologi ini terdapat tiga jenis teori kebenaran. Mengutip Suriasumantri, Kaelan (1998: 14) menyebutkan ketiganya sebagai: 1. Teori kebenaran koherensi, yaitu bahwa sebuah pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebenarnya. Sebagai contoh, pernyataan ‘Hewan menyusui disebut mamalia’. Pernyataan ‘Sapi adalah hewan mamalia’ adalah benar karena sapi menyusui.  2. Teori kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sebuah pernyataan dianggap benar bilamana materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut. Sebagai contoh, pernyataan ‘Kota Medan terdapat di Sumatera Utara.’ adalah benar karena terdapat hubungan antara ide dengan fakta dimana hubungan itu terjadi melalui bahasa. 3. Teori kebenaran pragmatis, yaitu sebuah pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Ini berarti suatu pernyataan akan dianggap benar apabila memberikan manfaat praktis kepada manusia. Dengan demikian, pernyataan itu dianggap benar berdasarkan konteks penggunaannya.  Yang terakhir adalah hubungan antara logika dengan bahasa. Yang menjadi pokok hubungan keduanya adalah fakta bahwa dalam proses berpikir, manusia tidak dapat melepaskan diri dari bahasa untuk memahami dunia luar, baik secara objektif maupun imajinatif.

Proses berpikir dalam konteks ini tentu saja bernalar dengan bersandar pada hukum-hukum, yang dengannya kemudian dapat dinyatakan apakah sebuah kesimpulan itu benar atau salah. Contoh: - Budi seorang pekerja keras. - Budi mendapatkan penghargaan. - Oleh karena itu, Budi seorang pekerja keras yang mendapatkan penghargaan. -  Seseorang pekerja keras. -  Seseorang mendapatkan penghargaan. -  Oleh karena itu, seseorang pekerja kerja yang mendapatkan penghargaan. Pada contoh pertama, kesimpulan yang diambil adalah benar dengan didasarkan pada premis-premis yang ada sebelumnya, sementara pada contoh kedua tentu saja kesimpulannya tidak benar karena ‘seseorang’ di sana tidak tidak dapat dipastikan mengacu kepada orang yang sama. Melihat kedua contoh ini, dapat disimpulkan betapa pentingnya bahasa dalam pernyataan logika sehingga sebuah kesimpulan dapat dinilai secara langsung kebenarannya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar