PERBEDAAN ANTARA FILSAFAT MANUSIA
DENGAN ILMU-ILMU TENTANG MANUSIA
Sebelum
pada pembahasan tentang filsafat manusia, alangkah baiknya kita singgung
terlebih dahulu mengenai daripada perbedaan antara filsafat dan ilmu-ilmu
tentang manusia. Ilmu-ilmu tentang manusia jelas bersifat positivistic, dalam
artian ilmu yang tetap pada satu pandangan, dengan model metodologi ilmu-ilmu
alam fisik. Karena sesuai dengan rujukan eksperimental dan/atau observasional.
Suatu ilmu yang membatasi diri pada penyelidikan terhadap gejala empiris dan
penggunaan metode yang bersifat observasional/eksperimental, maka bisa
dipastikan mempunyai konsekuensi-konsekuensi teoritis yang positif dan bersifat
negative sekaligus. Demikian pula halnya dengan ilmu-ilmu tentang manusia. Sisi
‘negatif’ dari ilmu-ilmu tentang manusia, pertama-tama tampak dari ruang
lingkupnya yang serba terbatas. Ilmu-ilmu tentang manusia hanya bersangkut paut
dengan aspek-aspek atau dimensi-dimensi tertentu dari manusia. Yakni sejauh
yang tampak secara empiris dan dapat diselidiki secara observasional dan/atau
eksperimental. Aspek-aspek atau dimensi-dimensi diluar pengelaman indrawi, yang
tidak dapat diobservasi atau eksperimentasi tidak dapat tempat di dalam ilmu.
Oleh sebab itu ilmu-ilmu tentang manusia ini tidak dapat menjawab pertanyaan
yang meskipun sifatnya sederhana dan mendasar, seperti : apakah manusia itu?
Apakah hakikat manusia itu bersifat material atau spiritual? Dan lain
sebagainya.
Maka
cara kerja ilmu pun (terpaksa) menjadi pragmentaris. Keterbatasan metode
observasi dan eksperimentasi tidak memungkinkan ilmu-ilmu tentang manusia untuk
melihat gejala manusia secara utuh dan menyeluruh. Contohnya ilmu psikologi,
ilmu tersebut hanya menekankan pada aspek psikis dan fisiologis manusia sebagai
suatu organisme. Dan enggan bersentuhan dengan pengalaman spiritual dan
eksistensinya. Ilmu laianya seperti antropologi dan sosiologi lebih memfokuskan
pada gejala budaya dan pranata social, dan enggan bersentuhan dengan pengalaman
dan gejala individu.
Maka
berbeda dengan filsafat manusia terhadap ilmu-ilmu tentang manusia ini,
filsafat manusia ini persis seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, yakni
dengan menggunakan metode sintesis dan reflektif. Dan metode sisntesis dan
reflektif ini mempunyai ciri-ciri ekstensif, intensif, dan kritis. Penggunaan
metode sintesis dalam filsafat manusia, yang mensistensiskan pengalaman dan
pengetahuan kedalam satu visi. Dengan metode sintesis maka tercapailah
visi yang menyeluruh dan rasional tentang hakikat manausia. Oleh sebab itu
ketimbang hanya berkisar tentang salah satu aspek atau aspek-aspek tertentu
saja dari manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok social,
filsafat manusia justru berkenaan dengan totalitas dan keragaman aspek-aspek
yang terdapat pada manusia secara universal.
Dan
penggunnaan metode refleksi, dalam filsafat manusia tampak dari
pemikiran-pemikiran filsafati besar seperti yang dikembangkan misalnnya oleh
Descartes, Kant, Edmund Husserl, Karl Jasper dan lain-Nya. Refleksi yang
dimaksudkan disini menunjuk pada dua hal : pertama, pada pertanyan tentang
esensi sesuatu hal. (misalnya : apakah esensi manusia itu, apakah esensi
keindahan itu, apakah esensi alam semesta itu). Dan kedua, pada proses
pemahaman diri (self-understanding) berdasarkan pada totalitas gejala dan
kejadian manusia yang sedang direnungkannya. Filsup yang sedang berfilsafat
pada kenyataannya bukan hanya berusaha memahami esensi manusia diluar dirinya,
tetapi juga hendak memahami dirinya sendiri. Maka ada kemungkinan dalam
filsafat manusia terdapat keterlibatan pribadi dan pengalaan subjektif
dari beberapa filsuf tertentu pada setiap apa yang difikirkannya.
Secara
umum bisa dikatakan, bahwa tidak mustahil terdapat keterlibatan pribadi dan
pengalaman subjektif dari beberapa filsuf tertentu, pada setiap pemikiran
filsafati mereka. Pandangan negative dan pesimistik tentang manusia dari
Schopenhaur, misalnya atau sebaliknya, pemikiran optimistic dan religius
tentang manusia dari Bergson dan Thomas Aquinas, yang bisa dijadikan contoh
kasus tersebut. Kemungkinan keterlibatan pengalaman pribadi dan pengalaman
“subjektif”, seperti yang terdapat dalam filsafat manusia, paling tidak secara
ideal, sedapat mungkin dihindarkan dari ilmu-ilmu tentang manusia. Ilmu harus
bersifat ‘netral’ dan ‘bebas nilai’. Disini tugas seorang ilmuan adalah
mengamati, mengukur, menjelaskan dan memprediksi dalam bentuk bahasa ilmiah.
Kemungkinan untuk terlibat atau tidak netral itu, relative sangat kecil karena
nilai-nilai yang sifatnya subjektif dan manusiawi, tidak dapat dirumuskan
secara statistic dalam bentuk angka atau grafik.
Namun ada yang khas dengan filsafat manusia, dan tidak terdapat pada ilmu-ilmu
tentang manusia. Kalau ilmu adalah netral dan bebas nilai. Maka bisa dikatakan
juga bahwa ilmu berkenaan hanya dengan das Sein (kenyataan sebagaimana adanya).
Nilai, dari manapun asalnya dan apapun bentuknya, diupayakan untuk tidak
dilibatkan dalam kegiatan keilmuan. Nilai dipandang sesuatu yang subjektif dan
tidak bisa diukur. Sehingga keberadaanya dianggap tidak bisa dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Sebaliknya di dalam filsafat manusia, bukan hanya das
Sein yang dipertimbangkan, tetapi juga das Sollen (kenyataan yang seharusnya).
Ini berarti bahwa nilai yang selain dipandang subjektif tetapi juga ideal,
mewarnai kegiatan filsafat manusia.