Selasa, 04 Oktober 2016

Pemikiran Kritis Dialektis



PEMIKIRAN KRITIS DIALEKTIS

Seorang ilmuwan dalam menghadapi setiap persoalan harus mempunyai sikap-sikap ilmiah, antara lain; obyektif, dalam arti kata tidak memihak kecuali kepada kebenaran yang dituju. Demikian pula pendapat baru atau teori-teori baru yang mengatasi pendiriannya yang telah dianut. Seorang ilmuwan seharusnya tidak gegabah untuk mengatakan bahwa apa yang dipeganginnya dalam suatu masalah tertentu adalah kebenaran yang tidak dapat dibantah. Bahkan sepantasnya seorang ilmuwan tidak mengatakan bahwa ia telah mencapai kebenaran. Karena suatu teori ilmiah, seperti dikatakan Karl R. Popper , tidak benar secara definitif. Sikap lain dari seorang ilmuwan adalah aposteriori dan menghindarkan sikap apriori. Apriori artinya menerima sesuatu tanpa pikir, koreksi, argumen, dalil, penyelidikan. Sedangkan aposteriori adalah bersikap kritis terhadap sesuatu dan tidak menerimanya kecuali setelah ada bukti dan argumen yang dianggapnya benar dan kuat untuk menerima hal itu.
Maka untuk menghindarkan diri dari sikap kaku dan subyektif terhadap suatu pendirian atau teori, seorang ilmuwan harus menggunakan metode Pemikiran Kritis-Dialektis, yaitu suatu metode pemikiran yang menggunakan cara pertanyaan-pertanyaan dan kritikan-kritikan sebanyak-banyaknya dan sedetail-detailnya terhadap sesuatu pendirian , pendapat atau problem.
Metode pemikiran Kritis-Dialektis dalam sejarah filsafat pertama kali diintrodusir oleh Socrates dari Yunani. Socrates dalam mengajar murid-muridnya untuk mempertanyakan sebanayk-banyaknya tentang suatu problema kemudian dari pertanyaan-pertanyaan itu diharapkan keluar kesimpulan sebagai kebenaran yang dicari. Tapi meskipun Socrates dianggap sebagai Bapak pemikir Kritis-Dialektis dalam sejarah filsafat, namun dalam sejarah Nabi-nabi, jauh sebelum Socrates, metode pemikiran semacam itu telah digunakan pula, yaitu oleh Nabi Ibrahim a.s. dalam Al Qur’an diceritakan secara menarik bagaimana ketika Ibrahim yang beranjak dewasa berusaha mencari Tuhannya yang sesungguhnya. Kisah Nabi Ibrahim yang mencari Tuhan dengan menggunakan metode tanya jawab melalui pemikiran kritis dialektis diceritakan di dalam Al Qur’an dalam surat Al- An’am (6): 75-79.
Metode dialektis itu sampai kini masih merupakan salah satu metode yang tetap aktual, meskipun terjadi perkembangan dalam pengertian dialektika yang dikembangkan oleh Hegel. Dialektika Hegel adalah dialektika yang bergerak atas prinsip thesa, antithesa dan synthesa. Artinya dari sebuah pernyataan yang ada disebut Thesa ditemukan lawan kenyataan itu yang disebut Antithesa. Kemudian berdasarkan thesa dan synthesa itulah diperoleh suatu paduan yang lebih selaras yang disebut Synthesa. Synthesa tadi masih dapat menjadi sebuah thesa baru, yang kemudian melahirkan antithesa pula, lalu dipadukan lagi menjadi synthesa lagi, dan demikianlah seterusnya. Pemikiran Dialektika Hegel inilah yang menjadi alat utama dari Filsafat Karl Max (1818-1883) yang kemudian terkenal dengan Filsafat Marxisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar