PEMIKIRAN
KRITIS DIALEKTIS
Seorang
ilmuwan dalam menghadapi setiap persoalan harus mempunyai sikap-sikap ilmiah,
antara lain; obyektif, dalam arti kata tidak memihak kecuali kepada kebenaran
yang dituju. Demikian pula pendapat baru atau teori-teori baru yang mengatasi
pendiriannya yang telah dianut. Seorang ilmuwan seharusnya tidak gegabah untuk
mengatakan bahwa apa yang dipeganginnya dalam suatu masalah tertentu adalah
kebenaran yang tidak dapat dibantah. Bahkan sepantasnya seorang ilmuwan tidak
mengatakan bahwa ia telah mencapai kebenaran. Karena suatu teori ilmiah,
seperti dikatakan Karl R. Popper , tidak benar secara definitif. Sikap lain dari
seorang ilmuwan adalah aposteriori dan menghindarkan sikap apriori. Apriori
artinya menerima sesuatu tanpa pikir, koreksi, argumen, dalil, penyelidikan.
Sedangkan aposteriori adalah bersikap kritis terhadap sesuatu dan tidak
menerimanya kecuali setelah ada bukti dan argumen yang dianggapnya benar dan
kuat untuk menerima hal itu.
Maka
untuk menghindarkan diri dari sikap kaku dan subyektif terhadap suatu pendirian
atau teori, seorang ilmuwan harus menggunakan metode Pemikiran Kritis-Dialektis, yaitu suatu metode pemikiran yang
menggunakan cara pertanyaan-pertanyaan dan kritikan-kritikan sebanyak-banyaknya
dan sedetail-detailnya terhadap sesuatu pendirian , pendapat atau problem.
Metode
pemikiran Kritis-Dialektis dalam
sejarah filsafat pertama kali diintrodusir oleh Socrates dari Yunani. Socrates dalam mengajar murid-muridnya untuk
mempertanyakan sebanayk-banyaknya tentang suatu problema kemudian dari
pertanyaan-pertanyaan itu diharapkan keluar kesimpulan sebagai kebenaran yang
dicari. Tapi meskipun Socrates dianggap sebagai Bapak pemikir Kritis-Dialektis
dalam sejarah filsafat, namun dalam sejarah Nabi-nabi, jauh sebelum Socrates,
metode pemikiran semacam itu telah digunakan pula, yaitu oleh Nabi Ibrahim a.s.
dalam Al Qur’an diceritakan secara menarik bagaimana ketika Ibrahim yang
beranjak dewasa berusaha mencari Tuhannya yang sesungguhnya. Kisah Nabi Ibrahim
yang mencari Tuhan dengan menggunakan metode tanya jawab melalui pemikiran
kritis dialektis diceritakan di dalam Al Qur’an dalam surat Al- An’am (6):
75-79.
Metode
dialektis itu sampai kini masih merupakan salah satu metode yang tetap aktual,
meskipun terjadi perkembangan dalam pengertian dialektika yang dikembangkan
oleh Hegel. Dialektika Hegel adalah
dialektika yang bergerak atas prinsip thesa, antithesa dan synthesa. Artinya
dari sebuah pernyataan yang ada disebut Thesa ditemukan lawan kenyataan itu
yang disebut Antithesa. Kemudian berdasarkan thesa dan synthesa itulah
diperoleh suatu paduan yang lebih selaras yang disebut Synthesa. Synthesa tadi
masih dapat menjadi sebuah thesa baru, yang kemudian melahirkan antithesa pula,
lalu dipadukan lagi menjadi synthesa lagi, dan demikianlah seterusnya.
Pemikiran Dialektika Hegel inilah yang menjadi alat utama dari Filsafat
Karl Max (1818-1883) yang kemudian terkenal dengan Filsafat Marxisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar