ISLAM
DENGAN FILSAFAT
Pertemuan Islam ( kaum
muslimin ) dengan filsafat ini terjadi pada abad – abad ke- 8 Masehi abad ke- 2
Hijriyah disaat islam berhasil mengembangkan sayapnya dan menjangkau
daerah-daerah baru yang memiliki adat istiadat dan peradapan serta kebudayaan
baru. Falsafat adalah salah satu dri kebudayaan asing yang ditemui islam dalam perjalanan
sejarahnya.
Dua imperium islam waktu itu
yaitu Abbasiyah dengan ibu kota Bagdad ( di Timur ) dan Umayyah dengan ibu
kotanya di Cordova ( di barat ) menjadi pusat peradaban dunia yang menghasilkan
cendekiawan-cendekiawan dibidang ilmu pengetahuan serta Filosof-filosof yang
masyhur seperti Al-Kindy ( 796 – 973 M ), Al-Faraby ( 870 – 950 M ), Al-Razy (863 – 965 M ), Ibnu Sina ( 980 – 1037 ), Al-Ghazali ( 1059 – 111 M ), Ibnu Rusyd ( 1126 – 1198 ) dan lain – lain.[7]
Immanuel Kant ( 1724 – 1804 ), yang disebut raksasa
pikir barat, mengatakan bahwa: Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal dari segala
pengetahuan yang mencakup didalamnya empat persoalan,yaitu :
1)
Apakah
yang anda ketahui ? ( dijawab oleh metafisika )
2)
Apakah
yang boleh kita kerjakan ? ( dijawab oleh etika )
3)
Sampai
dimanakah pengharapan kita ? ( dijawab oleh agama )
4)
Apakah
yang dinamakan manusia ? ( dijawab oleh Antropologi )
Dari semua istilah filsafat
itu sama- sama dengan ilmu pengetahuan, jelasnya segala macam pengetahua
termasuk filsafat, bagaimanapun corak pengetahuan itu. Tetapi lambat laun,
karena gejala-gejala yang diketahuinya semakin lama-semakin tertimbun, maka
terpaksalah orang membagi pengalaman – penalamannya menjadi pelbagi
lapangan, tiap-tiap lapangan dengan ilmu pengetahuan anda semenjak itu sempitlah
arti filsafat, oleh karena itu semula para filosof disamping ahli filsafat,
dalam waktu yang bersaman juga ahli ilmu pengetahuan. Tegasnya filosof adalah
ilmuwan, dan ilmuan adalah filosof. Begitulah yang terjadi sampai pada saatnya
cabang –
cabang ilmu pengethuan tertentu satu demi satu meninggalkan induknya ( filsafat
).
Tiap-tiap manusia yang mulai
berpikir tentang diri sendiri dan tempat-tempatnya dalam dunia, akan menghadapi
berbagai persoalan itu dapat dikelompokan sebagai persoalan – persoalan pokok yang
meliputi (1). Adakah Allah dan siapakah Allah itu?, (2). Apa dan siapa manusia
itu?, (3). Apakah hakekat dari segala kenyataan, apa maknanya, apa intisarinya
?
Dalam sejarah umat manusia
kita melihat bahwa tiga persoalan tadi sering dijawab dengan agama yang dianut
oleh manusia itu. Tetapi dilain pihak tidaklah jarang ilmu filsafat berusaha
untuk menjawab persoalan-persoalan itu.
Dr. Ahmad Fuad Al ahwani,
guru filsafat di Universitas di Cairo, menyatakan dalam kitabnya “ Ma’anil Falsafah’ ( Cairo, 1974 ), bahwa
filsafat itu adalah sesuatu yang terletak diantara agama dan ilmu pengetahuan.
Ia menyerupai agama alam satu sisi karena ia mengandung
permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diketahui dan dipahami sebelum orang
memperoleh pengetahuan dan keyakinan disisi lain karena ia merupakan sesuatau
hasil daripada akal pikiran manusia, tidak hanya sekedar mendasarkan kepada
taklid dan wahyu semata-mata. Dimana ilmu merupakan hasil-hasil
pengertian yang terjangkau dan terbatas, agama dan keyakinannya dapat
melangkahi/melamaui garis-garis pengertian yang terbatas itu.
Antara ilmu pengetahuan dan
agama inilah yang dimaksu filsafat. Banyak persoalan yang tidak bisa dijawab
dengan ilmu pengetahuan, dapat diterima dan dirasakan oleh manusia. Al Ahwani
atas dasar pendirinya itu memberikan pengertia filsafat dalam tiga kesimplan:
filsafat itu adalah peninjauan yang lengkap dan dalam keelruhan mengenai hidup
manusia. Filsafat itu adalah alat untuk menguraikan kesukaran-kesukaran yang
terletak diantara ilmu pengetahuan dan agama. Dan filsafat adalah penggunaan
pikiran yang dapat membawa manusia kepada amal dan kepada suatu tujuan
tertentu.
Menanggapi pendapat ini Prof.
Dr. H. Abu Bakar Aceh berkecenderungan untuk memilih dan menetapkan pendapat Al
Ahwani tersebut sebagai “ telah mewakili “ pikiran-pikiran ulama Islam
mengenai filsafat. Ita telah mengetahui dari sejarah demikian tegas H. Abu
Bakar Aceh –
bahwa pujangga-pujangga dan ahli-ahli pikir Yunani serta filosof-filosof
berikutnya hanya mencari apakah yang menjadi pencipta pertama dari alam semesta
ini, tetapi sedikit sekali yang mencari apakah faedahnya ada pencipta itu dalam
hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Tuhan yang dicari adalah
Tuhan yang mati, sedang Tuhan yang dipertahankan para filosof dan ulama islam
adalah Tuhan yang hidup, Tuhan yang menguasai seluruh alam semesta ini.
Az-Zamahsyari dalam kitab
tafsirnya “
Al- Kasysyal “
( halaman 174 –
175 ) menerangkan bahwa disanalah tempat perselisihan paham pokok antara ahlussunah
yang memegang kuat pada Al-Qur’an dan Hadist, dengan mu’tazillah yang berdasarkan
pengrtian tu kepada akal atau kepada filsafat. Menurut pengarang tafsir ini,
ayat-ayat mukhamat ialah ayat-ayat yang hanya mempunyai satu arti, sedang
ayat-ayat muttasyabihat adalah ayat yang mempunyai arti lebih dari satu,
sehingga memungkinkan masuknya penafsiran dengan akal manusia dan ta’wil atau memutarkan artinya
dengan berbagai cara. Ulama salaf hanya mementingkan ayat-ayat hukum atau
mukhamat itu, untuk diamalkan dan tida menganggap penting ayat-ayat
mutasyabihat yang artinya dapat ditafsirkan dengan akal secara aneka ragam.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa filsafat itu bid’ah dan haram hukumnya.
Sebaliknya banyak ulama islam
yang menganggap sangat penting dengan adanya filsafat, karena dapat membantu
dalam menjelaskan isi dalam kandungan Al – Qur’an dengan keterangan
keterangan yang dapat diterima oleh akal manusia terutama bagi mereka yang baru
mengenal Islamdan mereka yang belum kuat imannya. Imam Al Gazali yang semula
menentang filsafat, kemudian berbalik untuk mempelajari dan banyak
menggunakanya untuk uraian-uraian mengenai ilmu tasawuf. Ulama – ulama semacam ini menganggap
besar faedah dari mempelajari filsafat dan berpendapat bahwa dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat – ayat yang menyuruh kita
untuk berpikir mengenai dirinya dan alam semesta, untuk meyakini adanya Tuhan
sebagai penciptanya “ Tuhan menguraikan himah/filsafat kepada siapa
yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang telah diberi hikmah /filsafat sama
dengan diberkannya kebijakan yang berlimpah. “
“ Allah mengangkat orang-orang
yang beriman dan berilmu pengetahuan diantara kamu akan beberapa derajat “ ( Q.S. Al Mujadalah: 11 )
“ Yang sebenar-benarnya takut
kepada Tuhan ialah orang –orang yang berilmu pengetahuan “ (Q.S. Al Fatir: 28 ).
“ Dan perumpamaan-perumpamaan
Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang
yang berilmu”
(Q.S. Al Ankabut: 43 )
Tampak jelas dari
uraian-uraian diatas bahwa Islam tidak mencegah orang untuk mempelajari ilmu
filsafat, bahkan menganjurkan orang berfilsafat., berpikir menurut logika untuk
memperkuat kebenaran yang dibawa oleh Al Qur’an dengan dalil akal dan
pembawaan rasional. Aspek pemikiran dalam Islam terutanma masalah keimanan,
aqidah, ketuhanan, menunjukan pembahasan yang cukup lama telah dimulai semasa
nabi masih hidup, yang kemudian menjadi sebab pokok dari ilmu-ilmu yang
berbeda-beda, sebagaimana kalam ( dogmatic – scholastic ), dan tasawuf (
mystico-spirituaistic ).
Diskusi dan polemic keagamaan
anatra ulama Islam dengan tokoh agama non muslim, telah memperkenalkan
elemen-elemen asing dari filsafat Yunani, India dan sebagainya. Tersebab itu
bermunculanlah tokoh-tokoh dikalangan Islam, dengan
nama-nama besar sepeti Al Khindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dll.
Banyaknya terjemahan buku-buku asing terutama buku-buku filsafat Yunani lebuh
banyak menguak bukti pentingnya filsafat dalam kancah keilmuan Islam.
Akan halnya Falsafat yang
juga dianggap dapat membawa kepada kebenaran, maka islam
mengakui bahwa selain kebenaran Hakiki, masih ada lagi kebenaran yang tidak
bersifat absolute, yaitu kebenaran yang dicapai sebagai hasil usaha akal budi
manusia. Akal adalah anugrah dari Allah SWT kepada manusia. Maka sewajarnya kalau
akal mampu pula mencapai kebenaran, kendatipun kebenaran yang dicapainya itu
hanyalah dalam taraf yang relatif. Oleh sebab itu kalau kebenaran yang relative
itu tidak bertentangan dengan ajaran islam ( Al-Qur’an dan Hadist ) maka
kebenaran itu dapat saja digunakan dalam kehidupan ini.
Mengenai pandangan islam
tentang filsafat , filsafat cukup mendapat tempat penting dalam Islam dengan
beberapa kenyataan :
Ø Dalam sejarah Islam pernah
muncul filosof-filosof muslim yang terkenal seperti Al Faraby, Ibnu Sina, Ibnu
Rusyd dan lain-lain. Bahkan mereka ini dianggap sebagai mata rantai yang
menghubungkan kembali filsafat Yunani yang pernah menghilang di barat dan
berkat jasa-jasa kaum muslimin maka filsafat tersebut dapat dikenal kembali
oleh orang-orang Barat.
Ø Terdapatnya sejumlah
ayat-ayat Al-Qur’an yang mendorong pemikiran-pemikiran
filosofis.
Ø Meskipun Islam member tempat
yang layak bagi hidup dan perkembangan filsafat, namun Islam menilai bahwa
falsafat tu hanyalah merupakan alat belaka dan bukan tujuan. Falsafat dapat
digunakan untuk memperkokoh kedudukan Islam, umpamanya dapat dijadikan sebagai
jalan untuk memperkuat bukti eksistensi Allah SWT.
Ø Diakui pula bahwa kebenaran
filsafat bersifat nisbi dan spekulatif. Nisbi artinya relative dan tidak mutlak
kebenaranya. Spekulatif artinya kebenaranya bersifat spekulasi dan tidak dapat
dibuktikan secara empiris.
Ø Jadi tidak perlu melihat
filsafat sebagai momok yang menakutkan tetapi ia harus dipelajari dengan baik.
Dengan demikian kita dapat menggunakan hal – hal yang positif didalamnya
dan membuang hal-hal yang tidak menguntungkan bagi Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar