Minggu, 16 Oktober 2016

Islam Dengan Filsafat



ISLAM DENGAN FILSAFAT

Pertemuan Islam ( kaum muslimin ) dengan filsafat ini terjadi pada abad abad ke- 8 Masehi abad ke- 2 Hijriyah disaat islam berhasil mengembangkan sayapnya dan menjangkau daerah-daerah baru yang memiliki adat istiadat dan peradapan serta kebudayaan baru. Falsafat adalah salah satu dri kebudayaan asing yang ditemui islam dalam perjalanan sejarahnya.
Dua imperium islam waktu itu yaitu Abbasiyah dengan ibu kota Bagdad ( di Timur ) dan Umayyah dengan ibu kotanya di Cordova ( di barat ) menjadi pusat peradaban dunia yang menghasilkan cendekiawan-cendekiawan dibidang ilmu pengetahuan serta Filosof-filosof yang masyhur seperti Al-Kindy ( 796 973 M ), Al-Faraby ( 870 950 M ), Al-Razy (863 965 M ), Ibnu Sina ( 980 1037 ), Al-Ghazali ( 1059 111 M ), Ibnu Rusyd ( 1126 1198 ) dan lain lain.[7]
Immanuel Kant ( 1724 1804 ), yang disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa: Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang mencakup didalamnya empat persoalan,yaitu :
1)        Apakah yang anda ketahui ? ( dijawab oleh metafisika )
2)        Apakah yang boleh kita kerjakan ? ( dijawab oleh etika )
3)        Sampai dimanakah pengharapan kita ? ( dijawab oleh agama )
4)        Apakah yang dinamakan manusia ? ( dijawab oleh Antropologi )
Dari semua istilah filsafat itu sama- sama dengan ilmu pengetahuan, jelasnya segala macam pengetahua termasuk filsafat, bagaimanapun corak pengetahuan itu. Tetapi lambat laun, karena gejala-gejala yang diketahuinya semakin lama-semakin tertimbun, maka terpaksalah orang membagi pengalaman penalamannya menjadi pelbagi lapangan, tiap-tiap lapangan dengan ilmu pengetahuan anda semenjak itu sempitlah arti filsafat, oleh karena itu semula para filosof disamping ahli filsafat, dalam waktu yang bersaman juga ahli ilmu pengetahuan. Tegasnya filosof adalah ilmuwan, dan ilmuan adalah filosof. Begitulah yang terjadi sampai pada saatnya cabang cabang ilmu pengethuan tertentu satu demi satu meninggalkan induknya ( filsafat ).
Tiap-tiap manusia yang mulai berpikir tentang diri sendiri dan tempat-tempatnya dalam dunia, akan menghadapi berbagai persoalan itu dapat dikelompokan sebagai persoalan persoalan pokok yang meliputi (1). Adakah Allah dan siapakah Allah itu?, (2). Apa dan siapa manusia itu?, (3). Apakah hakekat dari segala kenyataan, apa maknanya, apa intisarinya ?
Dalam sejarah umat manusia kita melihat bahwa tiga persoalan tadi sering dijawab dengan agama yang dianut oleh manusia itu. Tetapi dilain pihak tidaklah jarang ilmu filsafat berusaha untuk menjawab persoalan-persoalan itu.
Dr. Ahmad Fuad Al ahwani, guru filsafat di Universitas di Cairo, menyatakan dalam kitabnya Maanil Falsafah ( Cairo, 1974 ), bahwa filsafat itu adalah sesuatu yang terletak diantara agama dan ilmu pengetahuan. Ia menyerupai agama alam satu sisi karena ia mengandung permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diketahui dan dipahami sebelum orang memperoleh pengetahuan dan keyakinan disisi lain karena ia merupakan sesuatau hasil daripada akal pikiran manusia, tidak hanya sekedar mendasarkan kepada taklid dan wahyu semata-mata. Dimana ilmu  merupakan hasil-hasil pengertian yang terjangkau dan terbatas, agama dan keyakinannya dapat melangkahi/melamaui garis-garis pengertian yang terbatas itu.
Antara ilmu pengetahuan dan agama inilah yang dimaksu filsafat. Banyak persoalan yang tidak bisa dijawab dengan ilmu pengetahuan, dapat diterima dan dirasakan oleh manusia. Al Ahwani atas dasar pendirinya itu memberikan pengertia filsafat dalam tiga kesimplan: filsafat itu adalah peninjauan yang lengkap dan dalam keelruhan mengenai hidup manusia. Filsafat itu adalah alat untuk menguraikan kesukaran-kesukaran yang terletak diantara ilmu pengetahuan dan agama. Dan filsafat adalah penggunaan pikiran yang dapat membawa manusia kepada amal dan kepada suatu tujuan tertentu.
Menanggapi pendapat ini Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh berkecenderungan untuk memilih dan menetapkan pendapat Al Ahwani tersebut sebagai telah mewakili pikiran-pikiran ulama Islam mengenai filsafat. Ita telah mengetahui dari sejarah demikian tegas H. Abu Bakar Aceh bahwa pujangga-pujangga dan ahli-ahli pikir Yunani serta filosof-filosof berikutnya hanya mencari apakah yang menjadi pencipta pertama dari alam semesta ini, tetapi sedikit sekali yang mencari apakah faedahnya ada pencipta itu dalam hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Tuhan yang dicari adalah Tuhan yang mati, sedang Tuhan yang dipertahankan para filosof dan ulama islam adalah Tuhan yang hidup, Tuhan yang menguasai seluruh alam semesta ini.
Az-Zamahsyari dalam kitab tafsirnya Al- Kasysyal ( halaman 174 175 ) menerangkan bahwa disanalah tempat perselisihan paham pokok antara ahlussunah yang memegang kuat pada Al-Quran dan Hadist, dengan mutazillah yang berdasarkan pengrtian tu kepada akal atau kepada filsafat. Menurut pengarang tafsir ini, ayat-ayat mukhamat ialah ayat-ayat yang hanya mempunyai satu arti, sedang ayat-ayat muttasyabihat adalah ayat yang mempunyai arti lebih dari satu, sehingga memungkinkan masuknya penafsiran dengan akal manusia dan tawil atau memutarkan artinya dengan berbagai cara. Ulama salaf hanya mementingkan ayat-ayat hukum atau mukhamat itu, untuk diamalkan dan tida menganggap penting ayat-ayat mutasyabihat yang artinya dapat ditafsirkan dengan akal secara aneka ragam. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa filsafat itu bidah dan haram hukumnya.
Sebaliknya banyak ulama islam yang menganggap sangat penting dengan adanya filsafat, karena dapat membantu dalam menjelaskan isi dalam kandungan Al Quran dengan keterangan keterangan yang dapat diterima oleh akal manusia terutama bagi mereka yang baru mengenal Islamdan mereka yang belum kuat imannya. Imam Al Gazali yang semula menentang filsafat, kemudian berbalik untuk mempelajari dan banyak menggunakanya untuk uraian-uraian mengenai ilmu tasawuf. Ulama ulama semacam ini menganggap besar faedah dari mempelajari filsafat dan berpendapat bahwa dalam Al-Quran banyak sekali ayat ayat yang menyuruh kita untuk berpikir mengenai dirinya dan alam semesta, untuk meyakini adanya Tuhan sebagai penciptanya Tuhan menguraikan himah/filsafat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang telah diberi hikmah /filsafat sama dengan diberkannya kebijakan yang berlimpah.
Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan diantara kamu akan beberapa derajat ( Q.S. Al Mujadalah: 11 )
  Yang sebenar-benarnya takut kepada Tuhan ialah orang orang yang berilmu pengetahuan (Q.S. Al Fatir: 28 ).
  Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (Q.S. Al Ankabut: 43 )
Tampak jelas dari uraian-uraian diatas bahwa Islam tidak mencegah orang untuk mempelajari ilmu filsafat, bahkan menganjurkan orang berfilsafat., berpikir menurut logika untuk memperkuat kebenaran yang dibawa oleh Al Quran dengan dalil akal dan pembawaan rasional. Aspek pemikiran dalam Islam terutanma masalah keimanan, aqidah, ketuhanan, menunjukan pembahasan yang cukup lama telah dimulai semasa nabi masih hidup, yang kemudian menjadi sebab pokok dari ilmu-ilmu yang berbeda-beda, sebagaimana kalam ( dogmatic scholastic ), dan tasawuf ( mystico-spirituaistic ).
Diskusi dan polemic keagamaan anatra ulama Islam dengan tokoh agama non muslim, telah memperkenalkan elemen-elemen asing dari filsafat Yunani, India dan sebagainya. Tersebab itu bermunculanlah tokoh-tokoh  dikalangan Islam, dengan nama-nama besar sepeti Al Khindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dll. Banyaknya terjemahan buku-buku asing terutama buku-buku filsafat Yunani lebuh banyak menguak bukti pentingnya filsafat dalam kancah keilmuan Islam.
Akan halnya Falsafat yang juga dianggap dapat membawa  kepada kebenaran, maka islam mengakui bahwa selain kebenaran Hakiki, masih ada lagi kebenaran yang tidak bersifat absolute, yaitu kebenaran yang dicapai sebagai hasil usaha akal budi manusia. Akal adalah anugrah dari Allah SWT kepada manusia. Maka sewajarnya kalau akal mampu pula mencapai kebenaran, kendatipun kebenaran yang dicapainya itu hanyalah dalam taraf yang relatif. Oleh sebab itu kalau kebenaran yang relative itu tidak bertentangan dengan ajaran islam ( Al-Quran dan Hadist ) maka kebenaran itu dapat saja digunakan dalam kehidupan ini.
Mengenai pandangan islam tentang filsafat , filsafat cukup mendapat tempat penting dalam Islam dengan beberapa kenyataan :
Ø  Dalam sejarah Islam pernah muncul filosof-filosof muslim yang terkenal seperti Al Faraby, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain-lain. Bahkan mereka ini dianggap sebagai mata rantai yang menghubungkan kembali filsafat Yunani yang pernah menghilang di barat dan berkat jasa-jasa kaum muslimin maka filsafat tersebut dapat dikenal kembali oleh orang-orang Barat.
Ø  Terdapatnya sejumlah ayat-ayat Al-Quran yang mendorong pemikiran-pemikiran filosofis.
Ø  Meskipun Islam member tempat yang layak bagi hidup dan perkembangan filsafat, namun Islam menilai bahwa falsafat tu hanyalah merupakan alat belaka dan bukan tujuan. Falsafat dapat digunakan untuk memperkokoh kedudukan Islam, umpamanya dapat dijadikan sebagai jalan untuk memperkuat bukti eksistensi Allah SWT.
Ø  Diakui pula bahwa kebenaran filsafat bersifat nisbi dan spekulatif. Nisbi artinya relative dan tidak mutlak kebenaranya. Spekulatif artinya kebenaranya bersifat spekulasi dan tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Ø  Jadi tidak perlu melihat filsafat sebagai momok yang menakutkan tetapi ia harus dipelajari dengan baik. Dengan demikian kita dapat menggunakan hal hal yang positif didalamnya dan membuang hal-hal yang tidak menguntungkan bagi Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar