MANUSIA
DAN KEMATIANNYA
Kehidupan
adalah suatu hal yang sangat kompleks. Kehidupan juga merupakan salah satu
indikasi adanya sesuatu yang hidup. Namun adakalanya manusia harus berpikir
bagaimana dia suatu saat nanti mereka meninggalkan dunia ini selama-lamanya?
Achmad
Charris Zubair dalam pengantarnya berjudul Refleksi tentang Kematian pada buku
Misteri Kematian Suatu Pendekatan Filosofis menyatakan banyak orang berpendapat
bahwa hidup ini bersifat ironis, karena manusia sebenarnya tidak pernah meminta
agar dia dilahirkan, tetapi begitu dia lahir, mencintai hidup dan kehidupannya,
dia dihadapkan pada realitas yang sangat menyakitkan hatinya. Manusia
dihadapkan pada kematiannya, dihadapkan pada batas akhir hidupnya, yang senang
atau tidak senang harus dijalaninya, sebagaimana kelahirannya sendiri (Leahy,
1998 : ix).
Bila
ditelusuri lebih jauh sesungguhnya kematian merupakan hal yang wajar terjadi
dalam kehidupan. Setiap yang bernyawa pasti akan mengalami dan merasakan
kematian, karena mati telah menjadi pasangan bagi hidup. Tetapi kita memang
tidak pernah bisa menentukan sebuah kepastian, kapan kematian itu akan datang.
Kematian datang menghampiri kita bagaikan seorang pencuri, menyelinap masuk
lalu membawa ruh kehidupan kita dengan meninggalkan jasad tak berdaya (Leahy,
1998 : x). Itulah gambaran yang diberikan oleh Ahmad Charris Zubair berkenaan
dengan ketidakpahaman manusia kapan maut itu akan menghampirinya.
Kesempatan
untuk menyelesaikan segala rencana yang ada dirampok oleh kematian yang tidak
kenal kompromi. Belum puas rasanya mengukir kehidupan ini. Belum sempat rasanya
menikmati kehidupan dengan orang-orang yang kita cintai. Kematian segera datang
menjemput, tidak pernah sabar menunggu barang semenit atau sedetik pun.
Ketika
itu yang terjadi, banyak di antara manusia yang tidak sanggup menerima proses
kematian itu sebagai konsekuensi logis dari kehidupan. Kematian memunculkan
jarak yang tak terukur dan tak terbatas antara yang masih hidup dengan yang
telah mati. Meskipun demikian, pada akhirnya semua manusia harus dengan rela
menerima datangnya kematian sebagai suatu ketentuan “nasib” yang tak
terelakkan.
Kematian
bagi manusia sesungguhnya bukan sebagai kehancuran yang tiada bermakna.
Kematian justru berfungsi sebagai mediator bagi suatu proses transendensi diri
manusia itu sendiri. Menarik apa yang dituliskan dalam Majalah Basis, tahun
ke-51, bulan September-Oktober (2002 : 65) berkenaan dengan misteri kematian
Marilyn Monroe. Majalah tersebut menegaskan bahwa Marilyn Monroe tidak pernah
ingin mati, tetapi tekadnya untuk mati makin bulat ketika hidupnya semakin
gemerlap. Marilyn Monroe didapati mati ketika dia sedang memperoleh segala yang
ingin diperolehnya. Adakah hidupnya hanya kesia-siaan? Adakah kematiannya yang
tragis hanyalah akhir dari kesia-siaan hidupnya? Jawaban atas pertanyaan itu
bisa saja mungkin. Namun, di atas semua itu, kematiannya adalah tragedi yang
mengungkapkan bahwa hidup ini akhirnya hanyalah “mampir ngombe”. Dengan segala
kemegahan dan kesuksesannya, dia memaksa dirinya untuk berjalan di luar rel
realisme hidup yang hanya “mampir ngombe”itu. Akibatnya dia terpelanting dari
hidup ini, dan mati dengan amat tragis.
Lalu,
berakhirkah seluruh riwayat Marilyn Monroe? Ternyata tidak. Kematian yang
dialaminya justru membuat hidupnya tak pernah berakhir. Hidup yang dia peroleh
tidak meniadakan kehebatannya, malah makin meningkatkan dan memperpanjang
kehebatannya itu. Kematiannya selalu dibicarakan orang, segala prestasi yang
pernah dicapainya senantiasa diingat orang, kepopulerannya tak pernah lepas
dari perbincangan orang, baik dan buruk sisi kehidupan yang telah dijalaninya
menjadi sorotan orang. Dengan kematiannya, eksistensinya seakan diperpanjang
sampai ke titik yang tak pernah berakhir. Inilah proses transendensi diri yang
dialaminya. Pengertian dan pemahaman seputar kematian yang ditanggapi
semata-mata sebagai peristiwa yang menakutkan dan mengancam eksistensi manusia
seyogyanya perlu diluruskan. Ibn Miskawaih menyatakan bahwa sesungguhnya
ketakutan akan kematian itu hanya ada pada diri orang yang tidak memahami
hakikat kematian itu, atau tidak tahu ke mana tujuan dirinya setelah mati. Dia
juga mengatakan boleh jadi juga karena orang itu menyangka bila jasmaninya
telah rusak, maka dirinya pun akan hilang pula. Kemungkinan lain, orang mengira
bahwa alam ini akan terus lestari sementara dirinya telah musnah. Padahal diri
dan jiwa itu kekal, kemudian kembali kepada Allah. Rasa takut kepada maut juga
menghinggapi orang yang menyangka bahwa kematian itu menyebabkan rasa sakit
yang tak terperikan, atau pada orang yang merasa bahwa setelah mati akan
menerima siksa, atau pada orang yang merasa sedih bila berpisah dengan harta
dan kesenangan duniawi (Miskawaih, 1994 : 185).
Materialisme
berpandangan bahwa seluruh realitas adalah materi atau dapat direduksi pada
materi sehingga memunculkan pemikiran skeptis seputar kemungkinan hidup sesudah
mati atau tidak adanya unsur immaterial yang bertahan. Kematian manusia tidak
lebih dari sekedar proses hancurnya struktur atom manusia, peleburan serta penyebaran
unsur-unsur atom itu.
Pembuktian
akan adanya hidup setelah mati bukan suatu pekerjaan yang mudah. Hukum-hukum
berpikir rasional tidak akan dapat memverifikasi bagaimana kondisi alam
kehidupan setelah mati, apa yang terjadi di sana dan sampai kapan itu akan
berlangsung. Tetapi hal itu bukan berarti lantas meniadakan adanya hidup
setelah mati. Bila dimensi rasio tidak mampu untuk memahaminya, sudah
sepantasnya membangun pemahaman akan kematian itu dari dimensi ruhani.
Dengan
demikian pengetahuan yang didapatkannya adalah pengetahuan yang bersangkutan
langsung dengan wilayah pengetahuan Allah. Pengetahuan dan pemahaman tentang
kematian yang semacam ini, tidak lagi menyisakan kecemasan dan ketakutan,
melainkan memunculkan kerinduan untuk segera bertemu dengan kematian itu.
Sebab, kematian akan membawa manusia kepada jatidirinya. Pengetahuan tentang
kematian yang disertai dengan sentuhan ruhani, mengubah image kematian yang
penuh dengan kegelapan dan ketersesatan menjadi suasana yang dirindukan penuh
kesyahduan. Karena alam kematian mengantarkan manusia kepada asal mula kodrat
manusia itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar